"Kerja yang bagus, Momo. Ini gaji kamu, saya sangat senang melihat anak belia seperti kamu mau bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri. Seandainya saya memiliki anak sebaik kamu." Ucap atasan Momo. Gadis itu tersenyum miris mendengar kalimat yang di haturkan atasannya.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi"
Sudah pukul sembilam tepat, Momo harus segera pulang dan menyelesaikan tugas sekolahnya.
Tidak, batinnya.
Momo melangkahkan kakinya menuju supermarket untuk membeli kuncir rambut. Ia tidak mungkin menggerai rambutnya disekolah, akan sangat mengusiknya dan gadis-gadis yang ada dikelasnya akan mencibirnya. Lelaki itu benar-benar sudah merusak masa tenangnya disekolah. Semua tidak berjalan lancer seperti yang Momo perkirakan.
Gadis itu telah sampai di kost nya dan pergi membasuh diri. Kemudian menyelesaikan tugas sekolahnya hingga pukul sebelas malam, barulah ia pergi tidur. Tapi mata dan pikirannya tidak mau di ajak beristirahat barang hanya lima menit saja. Ia menegakkan kembali badannya, beranjak dan mengambil jaketnya yang cukup tebal. Ia tahu jalan-jalan di malam hari sendirian sangat berbahaya, tapi setidaknya ia menguasai beberapa gerakan dalam kick-boxing.
Ia menghembuskan nafasnya yang dingin dan berjalan menelusuri jalan disekitar kost-kost an nya. Tenang dan gelap. Ia menemui beberapa orang mabuk dijalan, yang untungnya tidak menyadari kehadiran dirinya. Ia juga menemukan warung yang dibuka dengan tenda biru.
Kemudian terlintas di otaknya bahwa ia harus pergi ke toko buku bekas Paman Sam. Mungkin ia akan mendapatkan secangkir kopi dan di ijinkan bermain gitar butut milik paman nya itu. Jadi malam itu ia pergi ke toko buku bekas milik Paman Sam yang letaknya tak jauh dari tempat ia berdiri saat itu.
Bunyi berdecit nyaring yang dihasilkan oleh pintu kayu yang sudah reyot ini mengalihkan perhatian lelaki tua yang tengah meracik ramuan kopi nya.
"Halo, Paman Sam!"
"Momo! Lama tak bertemu, kau cantik seperti biasanya."
Gadis itu tersenyum tipis, hanya dengan pamannya ia bisa berbagi cerita dengan ramah. Sudah beberapa tahun ia tak mengunjungi pamannya yang semakin tua itu. Gadis itu merindukan aroma kopi dan kayu lapuk di kediaman pamannya. Dan saat ini ia bersyukur masih bisa menghirup aroma itu.
"Kau mau secangkir kopi?"
"Dengan senang hati, Paman." jawab Momo.
"Bagimana keadaan kedua orangtua mu?"
Jantung gadis itu mencelus mendengar pertanyaan pamannya.
"Aku.... Tidak tahu." Pamannya tersenyum.
"Aku paham, ini kopinya. Lalu, bagaimana dengan sekolah?"
"Baik? Tidak. Sangat tidak baik." ucap Momo sembari mengingat kejadian kecil yang terjadi disekolahnya. Pamannya tersenyum, membuat garis wajahnya terlihat dengan sangat jelas.
"Kau adalah gadis yang kuat."
"Paman, aku ingin melihat-lihat buku bekas milikmu. Boleh?" Momo bertanya, dan pamannya mengangguk.
Gadis itu berdiri dan mengitari rak rak buku yang ada di tempat itu. Matanya tak bisa berhenti berbinar kala buku yang ia ambil begitu menarik perhatiannya. Tetapi ada satu buku yang letaknya diatas buku yang berjajar rapi. Ia mengambilnya dan meniup sampul buku itu, berharap debunya bisa hilang. Kemudian ia membukanya.
Yang pertama kali ia raba adalah kertas berwarna kuning kecoklatan yang kering dan bertekstur kasar, menandakan buku itu sudah sangat lama sekali tidak dibuka. Bau kertas tersebut yang paling disukai Momo.
Yang Layu dan Yang Bermekaran, batin Momo membaca judul buku tersebut.
"Kau menyukainya?"
Momo terpenjerat dan menoleh, ia mendapati pamannya tersenyum padanya.
"Ya, aku menyukainya. Boleh aku simpan buku ini?"
"Itu milikmu sekarang." jawab pamannya.
Gadis itu tersenyum tipis. Tanpa ia ketahui, bahwa buku itu akan menjadi yang sangat berharga baginya.
♀
YOU ARE READING
Alive
Teen FictionMomo berharap bahwa kehidupan disekolahnya akan tenang. Tetapi nyatanya tidak. Yang mulanya menjadi bahan tertawaan satu orang, menjadi bahan tertawaan satu sekolah. Penyebabnya hanya lah seorang bernama Juno. Lelaki berdarah Amerika-Indonesia menye...