Raven menatap ke luar jendela kamar yang berembun. Langit mulai gelap, tapi terlihat cuaca tidak akan berubah. Raven mengamati butiran air hujan yang masih turun dari langit, terkadang tertiup angin hingga meninggalkan buliran air pada kaca jendela.
Enam bulan berlalu, dan semuanya masih sama. Dipta sama sekali tak membalas cintanya.
Suara batuk dari dalam kamar mandi membuyarkan lamunan Raven. Itu Dipta, sudah beberapa hari ini Dipta terkena batuk. Seperti yang diceritakan Fatmawati, Dipta akan terserang batuk dan flu ketika musim hujan tiba.
Beberapa saat kemudian, Raven sudah ada di dapur dan terlihat mulai sibuk memasukkan potongan-potongan jahe ke dalam air mendidih, lalu menambahkan sedikit bubuk kayu manis, dan aroma segar pun mulai menguar.
Raven menuangkan sup itu ke dalam mangkuk, terpekik ketika uap panas mengenai jari tangannya. Dia meringis sambil mengibas-ngibaskan tangan lalu mendinginkannya dengan kucuran air keran.
Dipta mencium aroma yang sangat dia kenal, kemudian keluar dari kamar untuk mencari asal aroma tersebut.
''Aku membuatkanmu sup jahe, Dip. Minumlah,'' kata Raven pelan.
''Hmm,'' Dipta hanya bergumam.
''Aku meninggalkannya di atas meja, minumlah selagi hangat.'' Raven hanya mampu menatap Dipta sekilas lalu pergi.
Sepeninggal Raven, Dipta meraih mangkuk sup lalu mengendus aromanya.
Raven mengintip dari ujung tangga atas, dan tak bisa menghentikan senyumannya saat melihat Dipta menghabiskan sup jahe buatannya.
Efek sup jahe mulai dirasakan Dipta, tubuhnya terasa hangat. Tapi tak demikian dengan hatinya, Dipta tidak bisa membohongi dirinya sendiri betapa dia sangat menyakiti Raven, dan juga Nanda.
=====¤¤=====
Nanda masih berkutat dengan rasa mualnya, tangannya mencengkeram wastafel, matanya mulai berkunang-kunang.
''Nanda, kamu baik-baik aja?'' tanya Inaka yang mulai cemas melihat Nanda begitu pucat.
Nanda mengambil napas panjang, mengatur napasnya agar mualnya berkurang. Dia membasuh wajahnya sekali lagi.
''Hanya sedikit mual. Tadi aku nggak sempat sarapan.''
''Mau aku antar ke dokter?''
Nanda menggeleng sambil menutup mulutnya, cukup lama dia di dalam toilet. Nanda menunggu rasa mualnya hilang, dia tak ingin orang lain melihatnya seperti ini.
''Ya udah, aku keluar dulu.''
Ketika Inaka sudah pergi, air mata Nanda luruh seketika. Tangannya menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar orang lain. Nanda sudah tak sanggup menahan perasaannya, bahunya bergetar hebat.
=====¤¤=====
Saat ini pikiran Raven sangat jauh dari kata konsentrasi, pekerjaannya tak ada yang bagus. Semua desain yang dia buat akhirnya terlihat tak menarik. Pikirannya selalu tertuju pada Dipta. Apapun yang telah Dipta lakukan, dia tak bisa menjauh. Seberapapun brengseknya Dipta, Raven masih sangat mencintainya.
Sementara di ruang kerjanya, Dipta menggebrak mejanya kuat. Wajahnya kusut. Dipta mengembuskan napas berat. Matanya menengadah menatap langit-langit ruangannya, menggerutu kesal, dan memikirkan langkah apa yang sebaiknya dia ambil. Data tentang siapa yang telah berkhianat sudah ada ditangannya. Tapi fakta bahwa Maryun Prasaja atau pamannya sendiri pelakunya, sungguh di luar perkiraan Dipta.