~Hana's Eyes~
Maksim MrvicaTubuh Dipta limbung setelah mendengar penjelasan dokter. Nanda harus menerima beberapa jahitan di kepala, beruntung tidak terjadi pendarahan dan janin yang di kandung Nanda juga baik-baik saja.
Raven berada di sana dan hanya mampu melihat Kesedihan di mata Dipta.
''Puas kamu sekarang!!'' bentak Dipta.
Raven tak mampu menjawab apapun. Dia lebih memilih pergi dari hadapan Dipta. Air matanya menetes semakin deras. Hatinya pilu dan tersayat mendengar bentakan Dipta. Inikah balasan atas keangkuhannya.
Nanda sudah dipindahkan ke ruang perawatan, walau masih dalam keadaan belum sadar. Dipta tetap berada di sampingnya, dengan setia mengelus punggung tangan wanita itu.
Dua jam kemudian, Raven kembali ke ruang perawatan Nanda sambil membawa satu cup kopi dan sebotol air mineral. Sudah pukul tiga pagi, dia belum tidur sama sekali. Raven berjalan pelan membawa minuman itu di kanan dan kiri tangannya.
Sebelum mencapai tempat Dipta berada, hatinya sudah terasa sakit. Ketika dia melihat Dipta tertunduk, Raven merasa seperti melihat dirinya sendiri sedang berlutut memohon pengampunan atas sesuatu yang tak pernah dilakukannya.
''Dipta,'' sapa Raven pelan.
Terkejut, Dipta menoleh. ''Masih berani kesini!!''
Tentu saja Dipta tak menyambutnya dengan baik. Bahkan dia menampik dengan kasar ketika Raven mengulurkan kopi padanya. Baju mereka berdua sama-sama terkena noda kopi. Keadaan Nanda yang masih belum sadar karena pengaruh obat, membuat Dipta melupakan segalanya.
Dipta menatap Raven, merasakan gumpalan emosi yang menyumbat tenggorokannya. ''Pergilah dari sini... Aku nggak mau melihatmu lagi!''
Raven merasa hatinya semakin hancur berkeping-keping. ''Apakah itu yang kamu mau?''
''Pergi!!''
''Kamu tega sekali, Dipta??''
Tiba-tiba, Dipta melangkah dan menipiskan jarak di antara mereka dengan tangan terkepal. ''Harusnya aku yang nanya sama kamu, kenapa kamu tega melakukan semua ini!''
Tubuh Raven panas. ''Aku nggak perlu bilang padamu sesuatu yang nggak pernah kulakukan! Sebenarnya... Apakah aku nggak berarti sama sekali buatmu, Dip?''
Waktu tiba-tiba berhenti, Dipta menatap Raven dengan mata hitamnya yang tajam. Rambut Dipta terlihat berantakan. Tangannya masih terkepal saat berhadapan dengan Raven, di dalam dirinya terjadi peperangan batin. Apakah Raven berarti dalam hidupnya? Dia sendiri tak tau, hanya perasaan terbiasa yang dia rasakan pada wanita itu.
''Kamu nggak pernah berarti apa-apa bagiku. Pergilah?'' sanggah Dipta mengabaikan air mata yang membasahi pipi Raven.
''Baiklah Dipta, aku akan pergi jika itu yang kamu mau. Tapi satu hal yang harus kamu tau, bukan aku yang mencelakai Nanda.'' Raven berkata pelan dan melangkah mundur, bersamaan itu air matanya kembali menggenang, bagaikan rumput yang dibasahi embun.
=====¤¤=====
Pagi sudah menjelang, Dipta masih menggenggam telapak tangan Nanda yang terasa sedingin es menyengat kulitnya.