Matahari pagi membangunkan tidur lelap Raven, dia silau dengan cahaya yang masuk lewat jendela. Raven mengerjapkan kedua matanya, pipinya merona melihat punggung Dipta. Walau Dipta sangat dingin padanya, tapi dia masih bersyukur karena Dipta masih mau tidur satu ranjang bersama.
Raven bangkit melirik jam sudah menunjukan pukul tujuh, menggulung rambutnya asal. Dia membuka pintu kamarnya, dan menuruni tangga pelan. Sebelum sampai dapur, Raven harus melewati ruang makan yang luas. Ada meja pantry yang membatasi ruang makan dan dapur.
Raven sudah berdiri di dekat coffe maker dan mengangguk mantap, secangkir kopi sudah siap dan aroma wangi kopi tercium memenuhi ruang makan. Dia berharap pagi ini Dipta menyambut harinya dengan senyum, bukan dengan wajah yang selalu datar dan serius. Dengan hati-hati Raven membawa nampan ke ruang tengah. Ketika melihat Dipta keluar dari kamarnya, berjalan menuruni tangga, Raven menyambutnya dengan senyum manis.
Dipta telah duduk dengan secangkir kopi hangat sambil membaca koran, dan Raven yang berada di sampingnya selalu menatapnya.
=====
Dipta memasuki kantornya. Penampilannya pagi ini cukup untuk membuat seluruh karyawan perempuan yang kebetulan lalu lalang disana terpesona. Dipta sudah sampai di ruangannya, ruangan luas dengan meja kerja dilengkapi komputer dan seperangkat sofa tamu di sebelahnya.
Sejenak, Dipta merenung sendiri di dalam ruangan kerjanya. Perusahaannya pelan-pelan mulai kembali bangkit. Pikirannya justru lagi-lagi melayang memikirkan Nanda. Bagaimana Nanda tersenyum, bagaimana Nanda menangis atau bagaimana Nanda bicara. Sudah lima bulan mereka tak bertemu.
Tak ingin pikirannya berlarut-larut dan mengganggu konsentrasi kerjanya, Dipta segera memencet tombol talk di wireless intercome yang ada di mejanya.
''Leean, tolong kamu panggilkan Pak Bara ke ruangan saya sekarang,'' Perintah Dipta pada sekretarisnya. Leean seorang perempuan yang cantik berusia sekitar 34 tahun, dengan kulit kuning langsat dan tinggi semampai. Semua orang tahu, Leean menaruh hati kepada atasannya itu.
Tak lama kemudian, pak Bara memasuki ruang kerja Dipta. Laki-laki berperawakan pendek, kumis tebal, dan perut buncit.
''Silahkan duduk Pak,'' ucap Dipta ramah. Pak Bara tersenyum lalu duduk di single sofa yang menghadap ujung meja. ''Bagaimana penawaran kerja sama kita dengan pihak Aquamarine, apa ada berkembangan?''
''Fifty-fifty. Kita harus bersaing ketat dengan Nagoya. Pihak Aquamarine akan melakukan rapat direksi terlebih dahulu,'' jawab pak Bara.
''Kita usahakan proyek itu jatuh ke tangan kita. Akan sangat menguntungkan buat Banyan nantinya,'' ujar Dipta mantap.
=====
Dipta berada di halaman rumah Nanda, mengetuk-ngetuk setir bundarnya. Antara ingin masuk melihat keadaan Nanda atau pergi saja.
Akhirnya Dipta memutuskan untuk turun, rasa rindunya mengalahkan segala keraguannya. Dia menekan bel berkali-kali, tapi Nanda belum juga membukakan pintu. Dipta mencoba menghubungi Nanda, tapi panggilannya juga diabaikan. Dia mengeluarkan kunci dari saku celananya yang masih dia simpan, mencoba membuka pintu rumah yang ternyata tak terkunci. Dipta membuka pintu, melongok ke dalam rumah yang ternyata juga sepi. Bahkan lampu-lampu belum ada yang menyala, padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Dipta mencari sakelar yang biasanya ada di dekat pintu lalu menekannya. Dia menemukan Nanda yang tertidur lelap di kamarnya. Dipta melonggarkan dasinya dan duduk di sofa dekat jendela kamar, menyampirkan jasnya di sandaran sofa.
Nanda terbangun lalu duduk meregangkan badannya yang terasa kaku akibat liburannya selama tiga hari ke Singapura. Dia mendengus manertawakan kebodohannya.
Ketika Nanda bangkit dan membalikkan badan, Nanda menemukan Dipta yang tertidur di sofa. Nanda melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
''Dip... Dipta??'' Nanda mengelus lengan Dipta.
''Hemm... '' Dipta membuka matanya. Mereka hanya saling pandang dan tersenyum.
Nanda mendekati jendela, mengusap kaca yang membatasi pandangannya. Sinar rembulan menyapanya di dalam kamar. Nanda merasakan pelukan dan lengan kokoh melingkar di perutnya.
''Tetaplah diam seperti ini Nanda,'' dagu Dipta menempel pada bahu Nanda. ''Aku sungguh bahagia saat bersamamu.''
''Dipta....'' panggil Nanda lirih. ''Walau aku tak akan pernah rela melihat dirimu bersama perempuan lain, tapi tolong... Jangan tinggalkan aku lagi. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu??'' pernyataan Nanda semakin membuat Dipta mengeratkan pelukannya. Nanda memejamkan mata, menikmati saat-saat bersama laki-laki yang dia cintai. Dia juga yakin, Dipta masih mencintainya.
Setelah Dipta pulang, seketika tubuh Nanda luruh seperti tak bertulang. Tangannya menekan dadanya kuat karena terasa sakit, dan napasnya sesak. Nanda tahu dia telah berbuat kesalahan, tapi dia tak sanggup untuk kehilangan Dipta sekali lagi.
=====
Di depan matanya dengan jarak yang sangat dekat, Raven dapat melihat wajah Dipta yang tertidur pulas. Wajah yang selalu ditekuk. Wajah yang selalu nampak marah. Raven tak tahu jam berapa Dipta pulang. Tangan kirinya perlahan terulur dan lembut menyentuh wajah Dipta. Dia memejamkan matanya, meraba mata suaminya yang terpejam, hidung Dipta yang tajam dan bibir yang mempesona. Ketika Dipta menggerakan kepalanya, Raven segera menarik tangan kirinya.
Raven merapatkan dirinya, mendekat hingga dia bisa bersandar di dada Dipta. Dipta membuka matanya, dia melihat Raven di depannya, menempel. Tak lama kemudian, Raven membuka matanya. Mata mereka saling memandang, ada pancaran memuja dan benci.
Aku tau kamu membenciku, tapi suatu saat... Aku akan mendapatkan cintamu.
Kamu hanya akan mendapatkan raga ini, tapi tidak dengan jiwaku...
Bunyi tik-tok jarum jam di atas nakas membuat keadaan semakin sunyi. Mereka hanya bicara dalam hati.
=====
Kediaman Suryadipta Prasaja tampak berbeda malam ini. Rumah bergaya modern yang dikombinasikan dengan arsitektur rumah khas jawa yang biasanya lengang dan sepi, kini nampak banyak orang lalu lalang.
Ada sebuah pesta kebun yang sedang berlangsung. Dari sebuah joglo, Fatmawati sang nyonya rumah sibuk mengawasi sepasang pengantin yang tampak saling menjaga jarak.
Raven tampil cantik dan feminim dengan gaya old fashioned-nya. Gaun model A-line dengan potongan fit di bagian pinggang dan melebar di bagian bawah membuat dia terlihat anggun dan elegan.
Para tamu tampak menikmati acara, beberapa pelayan melayani tamu undangan dengan barbeque aneka pilihan. Dari daging sapi, daging ayam, daging domba, udang, sosis, terong, pare, dan jamur, hingga kentang bakar yang dibungkus aluminium foil. Beberapa minuman segar dan ringan juga turut disajikan. Diantaranya honey lemon tea, strawberry lemonade, strawberry fizz, juga pineapple cooler.
''Sering-seringlah kalian main kesini agar mama dan papa tidak kesepian dan ikut pertemuan rutin keluarga, supaya Raven juga kenal dengan keluarga kita yang lain,'' ucap Fatmawati. Dan Dipta hanya mengangguk tanpa suara.
=====
Mobil yang dikendarai Dipta meluncur cepat membelah kota. Sesekali Raven melirik ke arah Dipta yang mengendarai mobil dengan tenang. Ingin Raven memulai pembicaraan, tapi niatnya itu segera dia urungkan. Raven menekuri kaca jendela mobil, memandangi hujan yang menetes pelan-pelan dan menimbulkan embun di jendela kaca mobil.
Mobil Dipta memasuki garasi. Dipta langsung turun dan memasuki rumah, Raven menjadi orang yang selalu mengejarnya. Di mata Raven, walau Dipta selalu tak acuh padanya, Dipta tetap terlihat luar biasa... Karena dia sangat mencintai suaminya.
=====][=====
Thank.
Wednesday, 10 February~Ayue~