6 - Gaun Hitam

64 3 0
                                    

Sebelum tubuhku terpekur, sebelum bumi menelan, aku ingin ini, bersamamu.

-~-


"Pakai dress dong kaak.." Luna merajuk melihat kemeja dan jeans biru yang kukenakan. Dress? Perlukah?

"Mas Pandu itu ganteng bangetloh kak, masa sih kakak mau keliatan biasa-biasa aja di depan Mas Panduu??"

"Mau pakai gaun, kebaya, piyama, kan sama aja, Luna. Cuma pakaian. Gak ajaib ngerubah kakak jadi model Vogue."

Luna mendengus, "Yaudah, berarti gak kenapa-napa kan kalo kakak ganti aja pakai ini!"

Aku mengernyit menatap gaun hitam yang dikeluarkannya dari lemari bajuku. Oh, itu. Hadiah.

~

"Runaa pake doong..." Mita mengetuk-ngetuk dagunya di bahuku. Ditanganku bertengger sebuah gaun hitam dengan desain yang sangat elegan. Tetap saja, ini terbuka. Bisa mati aku dibombardir ayah dengan ayat-ayat yang melarang seorang wanita mengenakan pakaian tetapi sama saja dengan bertelanjang.

"Enggak ah, cuma ke ulang tahunnya Dre juga. Ngapain sih lo beliin ini segala?"

"Yaelaaahh lo aja yang kayak nerd ke ultah segede gitu make kemeja! Udah buruan ganti baju sanaa!"

Dia mendorongku masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan aku bimbang setengah mati. Apa kata ayah kalau melihat ini??

Aku menatap pantulan bayanganku di dalam cermin, gaun hitam itu akhirnya membalut tubuhku. Pas dan, masih terbuka.

"Cantik banget Ruuuuun!!" Mita bertepuk-tepuk girang di belakangku, senyumnya lebar. Aku ikut tersenyum, kupikir siapa pun akan jadi cantik dengan gaun ini.

"Rambut lo, hm.. Gini gini," Mita menjepit rambutku ke atas, alhasil pundak beserta bahuku yang tadinya tertutup kini jelas terlihat. Aku makin risih.

"Mit.."

"Perfect!" Dia menatapku lewat cermin, puas dengan hasilnya.

Aku menelan ludah, maafkan aku, ayah.

~

"Cantik banget kak." Luna tersenyum menatapku. De ja vu.

Aku menatap wajahnya yang sangat mirip dengan ibu, sebersit sendu melintas lewat mataku. Lantas aku memejamkannya, bernapas pelan.

"Udah jam segini, masnya mana ya?" Luna melihati jam tangannya, hadiah ulang tahunnya yang ke 15, dariku. Hatiku menghangat tau benda itu masih berfungsi.

"Mungkin macet, masih ada waktu. Masak spaghetti aja ya?" Kataku berjalan ke dapur, mulai memasak menu paling mudah yang dapat kubuat.

"Kamu gak mandi?" Aku melirik Luna yang masih mengenakan seragam toko roti itu. Dia berjalan mengintip lewat kaca persegi di pintu. Tentu saja, tidak ada siapa-siapa di sana.

"Oh iya, lupa. Luna mandi deh." Lau dia masuk kamar, lima belas menit kemudian keluar dengan gaun kuning pucat dan rambut masih lembab.

Aku mengernyit.

"Apa?" Tanyanya polos.

Aku menggeleng saja, kembali sibuk menata meja makan.

Langit yang Mendekap Kota KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang