'Jelas dia duduk di sana, dan jelas tidak ada tanda dilarang duduk dengannya'
-Danar, anak basket-
Di suatu pagi yang cerah, saat aku sedang menguliti kuaci untuk Mita di pinggir lapangan sekolahku, dia datang dan duduk di sebelahku, menyisakan sejengkal yang ditempati bungkus dan kulit kuaci.
Jelas dia adalah laki-laki, dan jelas aku tau siapa dia. Tapi dia tidak sedang melihatku, melainkan permainan babak kedua yang sedang berjalan membosankan. Kedua tim sama-sama lemas, hadiahnya tidak menarik. Tapi mata itu fokus ke sana, membuatku kembali melanjutkan kegiatanku. Mengurungkan niat untuk tersenyum.
"Minta kuacinya ya?"
Aku tersentak, setelah sepuluh menit terjebak dalam suasana hening yang aneh, tiba-tiba dia bersuara, melirikku.
"Hah?" Hanya itu responku. Memang apa yang bisa kukatakan? Pertanyaannya aneh, kan? Memangnya dia siapa?
Kali ini dia menatapku, sambil nyengir, "Ya gue pengen, abis lo udah buka kulitnya, isinya dianggurin. Kan menggoda."
Aku menatap setumpuk biji kuaci di tutup kotak bekal yang sudah habis kumakan. Ini kan, untuk Mita.
"Ini punya temen gue sih." Kataku jujur.
Dia membuat gerakan heran dengan mendekatkan dagunya ke leher. Alisnya diangkat, "Kok lo yang buka?"
"Ya nggak papa, daripada bengong." Memang benar, aku tidak punya kegiatan lain. Mita sedang pergi ke ruang OSIS untuk mengatur jadwal pertandingan besok. Seluruh murid diwajibkan datang ke pinggir lapangan, menonton kegiatan tiap akhir semester yang diadakan OSIS. Aku menunggu Mita, katanya dia akan menyusulku ke sini. Tadi saat bel belum berbunyi kami ke kantin, Mita beli kuaci. Jadi kuputuskan untuk membukanya sampai Mita datang.
Dia terkekeh, yang entah kenapa kuperhatikan baik-baik. Tapi aku tidak mau dia tau aku memerhatikan, jadi cepat kutatap lapangan.
"Makasih."
Aku kembali melihatnya, baru sadar tumpukan kuaci Mita berkurang. Pindah ke mulutnya yang kini mengunyah tanpa dosa.
"Harusnya lo bilang maaf." Kataku masih tidak percaya dia mencuri kuaci-kuaci itu.
"Ya gimana, gue suka kuaci. Apalagi yang ga ada kulitnya." Lalu dia nyengir lagi, sama seperti kekehannya, itu juga kuperhatikan baik-baik.
Harusnya aku mengernyit, atau marah, atau kesal, yang terjadi justru aku menertawainya. Adalah itu awal tawaku untuknya, yang terus berulang, hingga Mita datang entah berapa jam kemudian. Entah tim ke berapa yang sedang bertanding. Entah babak ke berapa. Yang pasti besoknya aku berhutang sebungkus kuaci kepada Mita. Dan penjelasan, tentang laki-laki itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Mendekap Kota Kami
RomancePotongan cerita cinta dari mereka yang diam-diam saling memeluk