Lupakan jalan, lupakan laut, lupakan gurun, lupakan gedung, lupakan dinding, hancurkan. Pulang.
-~-
"Lo di mana?"
"Di simpang, cepat sedikit. Sebentar lagi hujan." Aku berbohong, melirik langit yang kelabu.
"Hujan dari mana? Cerah begini."
Sudut bibirku terangkat, dia masih hafal, warna langit kota ini. Yang sudah lima tahun di kemasnya rapi di dalam koper, dikunci, dilempar ke bawah tempat tidur.
Aku menatap lurus ke depan, ke arah seorang wanita yang sedang berjalan ke arahku. Yang kutatap menunduk melihat isi tas kulit yang dibawanya. Tangannya tenggelam di sana, mencari ponsel, kurasa.
Terlalu sibuk dengan kegiatannya, dia tidak memerhatikan sekitar. Bahkan lampu jalan yang menyala hijau. Masih dengan langkah cepat dia berniat menyebrang, tidak sadar dengan puluhan kendaraan yang saling terkam melindas aspal di depan.
Aku menghembuskan napas, lekas maju selangkah, membelakanginya. Kurasakan kepala itu membentur punggungku cukup keras. Dia berhenti, dering ponselnya ikut bungkam.
Lima detik kemudian saat lampu jalan berganti merah, dan angin kembali meniup aspal di depan, dering ponselnya kembali terdengar.
"Ya, halo?"
"Iya ini saya sedang jalan."
Dan dia benar-benar berjalan, melewati sisi kiriku, pergi begitu saja.
Kemeja biru pucat. Jeans pudar. Rambutnya diikat satu.
"Woi!" Seseorang menyikut lenganku, jam tangannya familier.
Aku beralih menatapnya. Senyumku tidak dapat ditahan, mengembang penuh bersamaan dengan bau nostalgia yang menyergap kepalaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Mendekap Kota Kami
RomancePotongan cerita cinta dari mereka yang diam-diam saling memeluk