Telah kutemukan
Apa apa yang tidak pernah kucari-~-
Siang ini panas, meski langit tetap mendung, tidak terik. Namun suhunya panas, pengap seperti di dalam angkot penuh pukul 12 siang. Aku ingin cepat-cepat sampai rumah, minum es teh buatan ayah.
Saat baru keluar dari kelasku, tasku tersangkut, membuat jalanku berhenti, dan aku menoleh untuk melihat apa yang menyangkut. Ternyata sebuah tangan, yang pemiliknya sedang menyedot es teh dari bungkus plastik yang sudah pasti dibelinya di kantin.
Aku berbalik menghadapnya, tidak tau harus apa. Rasanya aneh bertemu dengannya lagi setelah omongan Mita kemarin.
'Liat aja ntar, kalo dia nyamperin lo lagi, berarti dia naksir elo Run!'
"Pulangnya temenin gue ya." Katanya masih menggigit sedotan.
"Mau ke mana?"
"Ke rumah lo." Dia senyum, melihatnya nyaris membuatku ikut tersenyum.
"Mau ngapain?" Aku berusaha biasa, meski aku tidak tau yang biasa itu bagaimana mengingat jarang ada anak laki-laki yang nyamperin aku. Eh, ini pertama kali, sebenarnya.
"Kalo boleh masuk ya masuk, kalo engga ya lewat saja." Dia menyeruput sisa tehnya. Aku tidak bisa tidak memerhatikan bagaimana air teh itu berjalan naik di sedotan garis-garis merahnya. Sebelum hilang menyisakan gelembung kecil yang perlahan turun kembali ke dasar sedotan.
"Mau?" Dia akhirnya melepas sedotan itu dari celah bibirnya. Membuatku merona karena ketahuan melihati.
Aku menggeleng, mana mungkin kuiyakan. Lagian aku kan maunya buatan ayah. Meski teh kantin itu..
"Engga."
"Yaudah, yok." Dia jalan duluan, berhenti, lalu menoleh padaku. Matanya menatapku, menyuruhku mulai berjalan.
Yang kuiyakan dengan patuh.
Aku menunduk, melihati tali sepatuku yang berayun-ayun tiap aku melangkah. Rumahku tidak jauh, aku selalu datang dan pulang jalan kaki. Kadang diantar Mita kalau dia pulang cepat. Agaknya aku suka dengan jarak dekat rumahku, aku jadi tidak perlu berangkat terlalu pagi, atau pulang terlalu cepat.
Tapi dengan laki-laki ini berjalan di sampingku, yang masih diam bahkan ketika kami sudah keluar lewat gerbang sekolah, entahlah apa aku masih senang dengan jaraknya.
Mungkin sedikit jarak lagi akan bagus, ya siapa tau.
Astaga, aku ini berpikir apa? Kenapa tadi kubiarkan dia menyuruhku menemaninya? Atau sebenarnya ini dia yang menemaniku pulang? Ahh sekarang kenapa dia melihatiku seperti itu? Hah, dia melihatiku?
"Apa?" Tanyaku yang entah kenapa terdengar agak sewot. Matanya melebar, membuatku memerhatikan warnanya baik-baik, belum lagi bulu matanya yang tebal dan lentik. Kenapa laki-laki malah punya mata sebagus itu? Ini agak menyebalkan. Lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lagi-lagi membuatku memerhatikan dengan baik, bahwa dia punya rambut hitam yang lumayan panjang, tebal, bergoyang sedikit karena gerakannya. Sepertinya lembut, rasanya aku.. eergghh! Kenapa aku jadi aneh?
"Bagus danaunya." Aku mengikuti pandangannya. Sebuah danau membentang di kanan jalan. Memang bagus, tapi seram. Katanya makan tumbal. Kalau lewat sini dengan kendaraan, harus hati-hati, bisa jadi korban berikutnya.
Aku bergidik, kudengar dia tertawa, menertawaiku.
"Kenapa muka lo gitu?" Katanya masih dengan wajah bekas ketawa.
Lalu kuceritakanlah mitos itu, bagaimana seluruh mayat para orang Belanda yang tinggal di kota ini dulunya dibuang oleh tentara Jepang ke danau itu. Dia ikut-ikutan takut, wajahnya berubah sama sekali, membuatku tertawa sejadinya, balas menertawainya.
"Jir serem juga ya." Katanya di akhir tawaku yang masih memaksa dilanjutkan begitu melihat wajahnya.
Tiba-tiba saja kami sampai. Ayah sedang duduk di ruang tamu, menonton tv seperti biasa. Aku beralih menatapnya, yang sedang memerhatikan rumah orangtuaku.
"Lo mau masuk beneran? Ada bokap gue." Kataku membuatnya beralih dari rumah menatapku. Dari mendongak jadi menunduk. Ini membuatku sadar, betapa tingginya dia. Sehidungnya saja aku tidak sampai. Bohong semua orang yang mengataiku tinggi.
"Serius boleh?" Wajahnya cerah, membuatku geli, harusnyakan dia mengerti maksudku, ada bokap gue lo pulang aja ya.
Kenapa malah mau masuk?
Lagipula aku juga bingung menjelaskan ke ayah dan ibu, kenapa terdengar berlebihan ya? Yah intinya manusia ini tidak pernah muncul dalam kamus kecil pertemananku sebelumnya. Pasti mereka akan heran. Aku saja heran. Aku juga tidak terlalu yakin ayah akan tidak marah aku jalan berdua dengannya barusan.
"Eh Run, itu sebenernya ngusir kan ya?"
Aku menatapnya kasihan, tapi mau tidak mau aku mengangguk.
"Iya.."
Dia terkekeh, "Nggak apaapa kok, gue pulang ya. Thanks udah nemenin." Lalu dia berjalan pergi, santai. Memang dia tau gerbang keluar di mana? Ah biarlah. Sudah besar bisa cari sendiri kan.
Aku masuk rumah, menyalimi ayah, "Tuh di kulkas ada es teh Run."
Aku senyum selebar yang kubisa, lalu cepat berjalan mengambil satu teko penuh teh dari kulkas, menuangnya ke gelas dan kembali ke ruang tamu.
"Kok cuma satu? Temannya gak dikasih?" Ayah menurunkan kacamatanya sebatas cuping hidung, membuatku salah tingkah.
"Udah pulang yah."
Ayah geleng-geleng saja, aku duduk menonton bersamanya, setelah gelasku kosong, aku jalan ke dapur, tapi berhenti sebentar ketika ayah bilang,
"Besok, di ajak masuk, Run."
Membuatku senyum-senyum sendiri setelahnya. Menggelikan, siapa juga yang mau datang lagi.
Aku heran dengan reaksiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Mendekap Kota Kami
RomancePotongan cerita cinta dari mereka yang diam-diam saling memeluk