Hidupku hilang, bersamamu menjauh.
-~-
Aku menatap tanda di balik pintu kaca toko yang berkata 'Tutup'. Napasku terlepas, menjadi embun di kaca jendela mobil.
Aku terlambat, tentu saja. Tapi ini di luar kehendakku, sungguh.
~
"Mas! Dere di lantai 12, katanya dia mau lompat kalau mas gak ke sana!"
Jenna menatapku penuh horror tepat ketika Lovita yang tertidur di perjalanan kubaringkan ke sofa.
Tanpa memerdulikan teriakan Jenna yang ingin ikut, aku langsung berbalik pergi, masuk ke mobil dan menginjak pedal gas sedalam mungkin.
~
Ketika pintu lift terbuka, aku lekas berlari bergabung dengan para karyawan yang sedang berkerumun.
Suasana begitu aneh memaksa orang-orang sibuk berpikir, meski ini bukan kali pertama.
Aku menatap sosok yang tengah terduduk di lantai. Gadis yang sama.
Dia tau aku menatapnya. Kepalanya yang tadi tertunduk bergerak pelan, menengadah demi mempertemukan pandangan denganku.
"Aku mau lompat aja."
Gadis itu berbisik parau, rambut panjangnya yang dicat merah muda kusut dan acak-acakan, membingkai wajah yang telah kuhafal mati lekuknya.
Aku berjalan mendekatinya. Meninggalkan para karyawan yang membentuk baris penonton di belakang.
"Aku mau mati aja.."
Setetes, setetes, air matanya jatuh ke lantai yang penuh dengan pecahan-pecahan kaca.
Aku berlutut di depannya, menatap dinding kaca gedung yang telah hancur meninggalkan celah besar berbentuk persegi panjang tanpa satu apa pun menutupi. Orang-orang di bawah sana dapat dengan jelas melihat kami.
Angin dari luar bertiup kencang, memainkan rambutnya. Aku teringat, dulu yang melakukannya adalah tanganku, menelusup di antara lembutnya helai pucat itu.
Aku menghela napas, merasa bersalah. Dengan sendirinya tanganku melingkar di tubuhnya, menarik gadis itu mendekat.
Pecahlah tangisnya, meraung-raung di bahuku. Aku diam.
Tidak lama Jenna tiba, mengingatkan, kemudian kami membawanya pergi dari sana. Meninggalkan bisik-bisik yang menggema di sepanjang koridor gedung.
~
"Mas! Ayo makan!"
Jenna masuk ke kantorku tanpa pemberitahuan sebelumnya, mengusik kegiatanku yang sedang serius berpikir.
"Nanti, saya sedang kerja."
"Kerja apa dari tengah malam? Situ bikin film apa ngondek?" Dia berkacak pinggang di depan meja kerjaku.
Aku mengernyit, dia ini bicara apa?
Pintu ruanganku kembali terbuka, kali ini yang masuk adalah sosok mungil yang sedang berlenggak-lenggok riang, meremas selembar kertas dengan tangannya, membentuk bola.
"Bulat-bulat si baso'.. Bulat-bulat upil mama.. Wuzz!"
Lalu remasan kertas itu melayang ke sudut ruang.Aku heran, tentu saja.
"Mas!" Jenna kembali berteriak.
"Hm iya iya."
"Mas mau mamam mana mas?" Lovita sudah bergelayut di kakiku. Gesit sekali anak ini.
Aku diam saja, berdiri, membiarkannya melaksanakan kegiatan menjadi koala di kakiku.
"Mas mamam pizya ya mas!"
Jenna menatap anaknya, mungkin heran dengan tingkahnya. Ibunya saja heran.
"Yasudah, cepat." Kataku berjalan keluar, membiarkan orang-orang menatapku dengan tatapan 'Astaga kau kejam' karena jalanku cepat, Lovita terlihat menyedihkan di kakiku, terombang-ambing. Tapi percayalah, dia suka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Mendekap Kota Kami
RomancePotongan cerita cinta dari mereka yang diam-diam saling memeluk