Berikan sebuah penjelasan bagaimana sepasang bola mata dapat menghentikan seluruh kegiatan di alam semesta dan membuatku fokus hanya kepada satu hal.
-~-
"Omm, Yopi mau itu!"
Lovita, anak dari adikku, Jenna, menunjuk mesin es krim di pojok restoran pizza tempat aku dan Jenna makan siang ini. Jenna sedang ke toilet.
"Yaudah sini." Aku menggendongnya, lalu mengernyit, anak ini kenapa ringan sekali? Apa Jenna memberinya makan dengan benar?
"Turun om." Yah, aku menurut. Dia ratunya.
Seorang anak laki-laki yang sepertinya seusia dengan Lovita berdiri menatapku. Matanya hitam legam, terlihat serius bertentangan dengan wajah imutnya.
Dia ini kenapa? Menatapku selama itu.
Lovita tiba-tiba memeluk kakiku, "Om ada Mada!" Dia menunjuk anak laki-laki itu.
"Hm? Siapa?"
"Itu, teman Yopi di sekolah tau!" Anak ini, benar-bebar copyan ibunya. Cerewet, pemarah, berisik.
"Oh, hm. Yaudah kamu jadi mau es krim?" Aku bertanya pada Lovita, tapi pandanganku tidak lepas dari wajah anak laki-laki itu.
Dapat kurasakan Lovita mengangguk. Aku mengambil corn es krim, mengisinya.
"Nih."
"Yopi mau yang pink!" Ponakanku itu menghentakkan kaki, marah melihat warna cokelat yang mengisi cornnya.
Aku menghela napas. Bisa kubilang aku bukan tipe pria pecinta anak kecil. Karena mereka, yah, seperti Lovita, manja.
Sekarang aku bingung, harus kuapakan es krim ini?
"Buat Mada aja."
"Hm?"
"Mama Mada suka cokelat." Aku sedikit terkejut, bagaimana bisa anak seumurannya punya empati sebesar ini?
Lovita kembali memeluk kakiku, mungkin malu dengan teman sekolahnya itu.
Sementara ponakanku masih malu-malu absurd sambil meremas celanaku, anak laki-laki itu mengambil corn es krim, mengisinya dengan es krim rasa stroberi, lalu memberikannya kepada Lovita. Aku kagum dia bisa melakukan semua itu tanpa terlihat kesulitan.
Ponakanku masih malu-malu menerima es krim itu, "Makasih.."
Dia mengangguk sebagai jawaban, lalu kembali mengambil corn lainnya dan mengisi corn itu dengan rasa vanilla. Sementara aku diam menonton setiap geraknya.
"Ayo om, mama di sana." Katanya sebelum berjalan meninggalkan kami. Aku menggendong Lovita, mengikuti anak itu. Eh.. terpukau dan penasaran dengan tingkahnya.
Kulihat dia duduk di sebelah seorang wanita yang terasa familier di ingatanku. Rambutnya diikat satu, mengenakan kemeja putih polos dan celana jeans. Wajahnya terlihat natural dengan pelembab bibir dan bedak yang dipoles tipis. Cantik sekali.
Fakta bahwa dia adalah ibu dari anak laki-laki itu kuakui mengejutkan karena dia terlihat masih sangat muda. 22 menurutku.
"Ini mama, om." Anak itu bersuara, menarikku kembali dari pikiran.
"Hm, ini." Aku menyerahkan es krim cokelat itu. Dia ragu menerimanya. Baru saja aku akan memberi penjelasan, suara melengking Jenna mencekik pendengaranku.
"Ya Allah Yopii!! Mama kirain ke mana!!" Adikku yang sangat berisik itu segera merebut Lovita dari gendonganku, memeluk putrinya erat-erat. Berlebihan. Aku kan abangnya.
"Kamu gimana sih mas! Di telpon gak bisa! Bikin jantungan aja!"
"Kan kamu tau ponsel saya rusak." Aku menatapnya malas. Aku dan Lovita hanya berdiri lima meja dari meja tempat kami makan tadi. Sangat tidak sulit ditemukan. Jenna yang aneh.
"Udah, buruan, ayo pulang!" Lalu dia berjalan meninggalkanku dengan Lovita digendongannya.
Aku menatap wanita di hadapanku, dia terlihat heran.
"Permisi." Kataku pamit, mengangguk kepadanya, kemudian tersenyum kepada bocah laki-laki yang menatapku santai. Tidak terlihat malu apalagi terintimidasi. Mada, kan? Dia justru balas tersenyum dan melambaikan tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Mendekap Kota Kami
RomancePotongan cerita cinta dari mereka yang diam-diam saling memeluk