"Run, lo tau kan, gue ini orangnya jujur."
Aku mengangguk, masih bersandar pada punggung kursi kayu di pinggir danau. Iya, danau yang itu. Yang dulunya kuanggap seram sampai lelaki ini bilang; kan, kita, jalan kaki.
Bulan-bulan belakangan malah jadi tempatku menghabiskan waktu kosong. Sepulang sekolah kalau ayah tidak mewajibkan pulang ke rumah.
Dia merengsek maju, sikunya bertumpu pada pangkuan. Wajahnya agak serius menoleh ke kanan, demi bertatapan.
"Ya ini, gue bohong bilang kita hanya temanan."
Aku tersenyum, sumpah kelepasan.
"Gimana ya, Danan. Biasa ajalah."
Kataku, melempar pandangan ke tengah danau. Memangnya, aku butuh penjelasan begitu?
"Coba, serius Run. Ini krusial." Katanya meniru gayaku. Ah! Dasar.
Aku mengcopy gesturnya, kaki di renggangkan, siku di paha, jemari bertaut.
Otomatis wajahku mendekat. Dengan wajahanya.
Dia sabun cuci mukanya, apa, sih?
Wangi.
"Memang gue butuh penjelasan? Engga!"
Dia

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Mendekap Kota Kami
RomancePotongan cerita cinta dari mereka yang diam-diam saling memeluk