"I can count on you like four, three, two and you'll be there. Cause' that's what friends are suppose to do" – Count on me, Bruno Mars.
***Sudah empat hari berlalu sejak hari dimana seluruh siswa SMA Pramudhya Bakti melaksanakan kegiatan MOS. Hari ini seluruh siswa mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya, begitu juga Savina yang sedari tadi bolak-balik perpustakaan-kelas untuk mengambil buku yang ia butuhkan.
Semua berjalan seperti biasa, tidak ada sesuatu yang special sama sekali. Huft, gue kira bakal ada cowok atau siapa gitu yang nyamperin gue minta kenalan, gerutunya dalam hati. Eh tapi mana mungkin, emang gue siapa disini? Ketua Osis bukan, Ketua Cheerleaders juga bukan, salah satu Most Wanted apalagi, batinnya. Ia pun berjalan menuju kelasnya, X IPA 2.
***
X IPA 2
Suasana ruang kelas kacau dan sangat berisik, semua anggotanya mulai berebut mendapatkan bangku yang strategis. Tentu saja bangku deretan paling belakang dan tengah menjadi sasarannya, sehingga hanya ada deretan bangku terdepan dan nomor 2 saja yang kosong tak berpenghuni.
"Eh lo, siapa nama lo? Lo pindah di sono noh, ya? Please ... lo baik deh," teriak laki-laki yang berdiri di depan papan, wajahnya sudah sangat memprihatinkan karena tidak mendapat tempat di deretan belakang.
Perempuan yang diajak bicara pun menyahut. "Gak! Enak aja lo nyuruh-nyuruh!"
Sebetulnya banyak sekali ocehan teman-teman Savina, membuat kepalanya serasa ingin pecah. Belum lagi rayuan murid laki-laki yang bersikukuh ingin menukar tempatnya dengan yang lain, seperti—
"Duh, lo cantik deh kalo duduk di depan."
"Oi, lo yang paling belakang. Udah tau kecil, sono lo di depan! Siapa tau lo jadi tinggi."
Atau ....
"Gue mau deh nge-date sama lo, tapi lo harus pindah."
Dan rayuan-rayuan receh lainnya, tentu saja membuat Savina dan beberapa murid perempuan tertawa geli. Sementara Savina belum mendapat teman duduk, tetapi dia sudah mendapat bangku di deretan nomor tiga. Lalu tiba-tiba cewek bermata sipit yang terlihat baru datang menghampirinya.
"Hai, lo sendiri aja?" tanyanya sambil tersenyum.
Savina yang sedari tadi hanya diam memperhatikan pun akhirnya menjawab dengan gugup. "Oh, i—iya."
"Gue boleh duduk di sini? Gue belum kenal siapa-siapa jadi gue gak tau duduk sama siapa nanti."
Sebenarnya Savina termasuk tipe orang yang easy going dan suka bergaul, tapi untuk bergaul dengan orang yang baru dikenalnya, ia sedikit tertutup dan perlu waktu yang lama untuk beradaptasi.
Savina berdeham kecil. "Boleh, gue juga belum ada temen," Savina tampak berpikir. Apa gue harus mencoba untuk lebih ramah sama orang? masa gue terus-terusan tertutup, gue ajak kenalan duluan kali ya, batinnya. "Btw, gue Savina." Ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Senyum cewek itu seketika mengembang. "Gue Karina, panggil gue Karin aja."
Perbincangan mereka terintrupsi karena guru piket segera masuk ke kelas. Kelas yang awalnya seperti medan pertempuran pun seketika sunyi, mungkin ini juga karena pengaruh dari kedatangan guru itu—yang terkenal garang.
"Selamat pagi anak-anak, selamat datang di kelas baru kalian. Ibu harap kalian semua sudah mendapatkan teman baru, dan jangan lupa berbaur dengan teman-teman kalian yang lain juga. Ibu ingin kelas ini kompak, untuk masalah Wali Kelas, Ibu yang akan menjadi Wali Kelas kalian," terdengar grasak-grusuk dari seluruh siswa. "Tolong tenang semua, selagi kalian bisa diatur dan tidak membuat masalah, kalian aman bersama Ibu. Itu saja yang ingin Ibu sampaikan, Selamat Pagi." Ucapnya seraya meninggalkan kelas.
***
Pelajaran pertama dan kedua cukup padat nan melelahkan bagi Savina. Saat ini ia duduk di kantin bersama Karin dan beberapa teman barunya. Suasana kantin yang ramai cukup membuat Savina risih, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja ia melihat di sekelilingnya. Pupil matanya tak sengaja menangkap sosok yang ia rasa familiar, namun setelah mengingatnya kembali, Savina tetap saja tidak mengenal siapa laki-laki itu. Padahal Savina yakin betul ia pernah bertemu atau bahkan mengenal laki-laki itu.
"Sav, lo pesen apa? Gue pesenin deh," Tanya Karin yang sukses membuyarkan lamunan Savina. Ternyata, Karin blasteran Indonesia-Korea, pantas saja wajahnya sangat oriental dan kulitnya putih pucat.
"Eh,eh. Gue juga deh rin, gue siomay satu, es teh satu, donat satu, sama—"
"Woy, maruk amat lo. Yang ditanya siapa, yang jawab siapa," Timpal Astrid, sahabat baru Savina yang terlihat tomboy dan cenderung cuek. Astrid memang selalu adu mulut dengan Feliz, cewek yang diajak bicara tadi. "Udah deh Fel, lo pesen sesuai daya tampung perut lo aja, kurus-kurus makannya kayak kuli."
Feliz hanya cemberut sambil memainkan ponselnya kembali. Savina tersenyum kecil, "Gue siomay sama es teh aja rin, gak tau yang lainnya."
"Gue sama." Sahut yang lainnya berbarengan.
Hening.
Kemudian mereka tertawa, sampai-sampai Feliz hampir jatuh ke belakang kalau saja ia tidak cepat-cepat mengendalikannya.
"Aduh yaampun, absurd parah kita." Celetuk Ovian, sahabat Savina yang lain. Ovian ini setipe dengan Savina, bedanya, pembawaan Ovian lebih dewasa yang tentu saja berbanding terbalik dengan Savina.
"Yaudah gue pesenin, tunggu bentar." Timpal Karin yang segera menghampiri Bang Frans—pedagang siomay yang memiliki nama terkeren di SMA ini.
***
Setelah mengganti seragamnya dengan baju santai, Savina duduk di kasur sambil mengayunkan kakinya. Ia tampak mengingat-ingat kejadian tadi di sekolah. Ia pun berjalan dan duduk di depan meja belajarnya. Moment yang kayak gini harus selalu diingat, gue gak mau kehilangan moment kayak gini lagi, pikirnya. Ia pun menorehkan beberapa kata di journalya.
18 Juli 2015
Hai, it's me. Lo pasti pengen tau kan jour, gimana hari-hari gue di sekolah? Yah awalnya sih gue gak berharap banyak ya. But, so far so good. Di hari pertama masuk kelas, gue udah bisa sedikit lebih friendly, and you know? Gue ternyata gak begitu buruk dalam beradaptasi. Gue punya lumayan banyak temen, gue udah nemu sahabat dan everything's going well. Tapi, gue masih keinget masa-masa gue dulu. Gue masih berharap 'mereka' bisa dateng lagi dan nemenin hari-hari gue di SMA ini. Tapi, apa itu mungkin?
Moment-moment yang barusan gue lewatin ini berasa seperti gue balik lagi ke masa itu, masa di mana semua masih baik-baik aja. Apapun itu dan gimana gue nanti, gue masih berharap kok ' mereka' ada di samping gue lagi.Lots of love,
Sav***
A/NHai, hai. Balik lagi sama kelanjutan chapter. Gimana sama cerita ini? Kalian boleh banget kasih saran atau kritik, ini juga dipake buat memperbaiki cerita. So, jika cerita ini banyak kekurangannya gue bisa perbaikin. Sedih karena gue liat readersnya udah lumayan tapi yang aktif ninggalin vommentsnya cuma segitu, sangat-sangat jauh dari perkiraan. Fyi, gue buat cerita ini susah payah di sela-sela spare time gue. Kalian bisa bayangin gue yang susah payah buat, tapi sidersnya banyak banget. Gue jadi gak semangat lanjutin. Apa gue harus stop dan biarin cerita ini terbengkalai? Vomments kalian sangat berarti buat memotivasi gue guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Teen FictionBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...