"Hello, it's me. I was wondering if after all this years you'd like to meet. To go over everything. They say that time's supposed to heal ya." ― Hello, Adele.
***
Savina menutup pintu lemari dan berjalan mendekat ke arah ruang belajar. Di atas meja, buku-bukunya sudah tersusun rapi untuk dimasukkan ke dalam ransel biru tua. Sejenak, Savina duduk sebelum menyampirkan jaket yang diambil dari lemari barusan ke sandaran kursi. Ia meneguk air mineral yang sudah tersedia. Matanya melihat ke arah kalender duduk, seketika matanya membulat dan ia mempercepat untuk menghabiskan minumannya."Tanggal 14," gumam Savina. "Berarti sekarang September ceria," Savina bermonolog, ia menepuk dahinya dan bersandar di kursi.
September ceria adalah suatu perayaan turun-temurun yang ada di sekolah Savina, SMA Pramudhya Bakti. Alasannya karena bulan ini adalah HUT Pramudhya Bakti yang jatuh tepat di tanggal 14 bulan September. Selama hampir satu hari sekolah Savina akan dipenuhi oleh pementasan murid, kurang lebih seperti pensi. Ya meskipun mereka tetap belajar efektif sampai jam 12 siang.
Tetapi bukan itu yang membuat Savina kontan terkejut, Savina bukan memikirkan masalah pementasan yang harus dibawakan juga. Khusus tahun ini, pementasan hanya boleh dibawakan oleh para junior yang berarti adik kelas Savina.
Menurut Savina, hari ini hari yang sangat penting bagi dirinya. Kalau saja ia salah bertindak, semua akan berantakan. Kalau saja ia diam tidak berbuat sesuatu, semua juga akan sia-sia.
Savina mengembuskan napas lelah. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, tanda kalau seorang Savina gelisah bukan main. Apa yang harus dia lakukan? Dia bahkan belum mempersiapkan apa-apa. Perlahan, ide pun terlintas dipikiran Savina. Masa iya itu, bego banget gak sih? Pikirnya.
Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Savina berdiri dan menyambar jaketnya menuju luar kamar. Ia menutup pintu dan berjalan menuruni tangga, jemarinya mengetikkan pesan untuk Astrid.
Savina
Trid, lo duluan aja. Gue berangkat sama Mama.
***
Savina berjalan dengan langkah santai menyusuri koridor sekolah yang sudah dipenuhi dengan ornamen-ornamen karya anak mading dan OSIS. Anak kelas 10 berlalu-lalang dihadapan Savina sambil sibuk membawa alat musik dan kertas yang Savina yakini sebagai script pementasan nanti.Saat melintasi aula sekolah, Savina bisa mendengar microphone yang diketuk. Sebagian teman kelas Savina berada disitu untuk sekedar menonton atau membantu para junior untuk check sound.
Savina sudah sampai di depan kelasnya yang sudah tertata rapi sebelum dimarahi oleh Pak Regan―wali kelasnya di tahun kedua. Ia sudah mendaratkan ujung sepatu di lantai kelas saat teriakan seseorang yang cukup memekakkan telinganya menghentikan aktifitasnya itu.
"Pagi, Savina!"
Savina menolehkan kepalanya. Di sebelahnya sudah berdiri sesosok Ferian dengan cengiran khasnya dan siulan usilnya. Hari ini, Ferian mengenakan bomber jacket berwarna army dan sepatu running berwarna putih.
"Pagi," jawab Savina. "Lain kali teriaknya jangan kenceng-kenceng. Kasian telinga gue!" sambung Savina. Ia meneliti penampilan Ferian lagi, kemudian berdecak. "Anak ini, ngapain pake sepatu putih? Langgar aja terus peraturan sekolah, poin lo 'kan udah kritis."
Ferian mendelik. "Gue nggak ngelanggar terus. Dua hari lalu gue pake sepatu hitam, lho," Ferian menegakkan tubuhnya dengan kedua tangan yang tersilang di bawah dadanya. "Lagian gue nggak minta komentar lo yang itu. Perhatiin baik-baik, apa ada yang beda di diri Ferian yang menawan ini?" matanya mengedip ke arah Savina.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Genç KurguBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...