"It's pretty simple, pretty obvious: that people's first impressions of people are really a big mistake." – Vincent D'Onofrio.
***
Jam pelajaran ketiga sedang berlangsung dengan lancar. Yah, setidaknya dari awal jam pelajaran ketiga berlangsung hingga menit ini semua murid mengalihkan fokus mereka kepada guru yang sedang menerangkan pelajaran Bahasa Inggris di depan. Mr. Aresh, selalu menyita perhatian murid-muridnya. Mungkin karena pemuda berahang tegas itu sangat humble dan pembawaanya santai saat sedang menerangkan pelajaran, itu sangat jarang terjadi di SMA Pramudhya Bakti yang terkenal akan guru-gurunya yang killer namun berkompeten di bidangnya serta perfeksionis dalam mengajar.Mr. Aresh membacakan sesuatu di proyektor kelas saat Ferian―teman duduk Lando, mencolek punggung Karin yang duduk di depannya. Karin mendecih, perempuan itu tidak suka diganggu saat dirinya sedang memperhatikan guru berusia 25 tahun itu. Karin memilih untuk mengabaikan Ferian dan tetap memperhatikan ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang sedang berdiri menyandar pada meja guru di depan kelas. Ferian mengernyit, halah masih gantengan gue juga. Ferian mencolek punggung Karin sekali lagi, kali ini pasti berhasil, pikirnya.
Karin menoleh dengan cepat. "Lo, apasih!" sungut Karin. Ia mendecak saat Ferian menaik turunkan alisnya. "Monyet, nggak jelas lo emang."
"Astagfirullah, kasar banget Mbak," Ferian mengelus dadanya lucu, tangannya menopang dagu sambil memperhatikan Karin, "Kapan istirahat? Gue laper."
"Bodo, Fer. Tanya aja sama seatmate lo kenapa?" Karin berbalik menghadap depan dan kembali serius.
Ferian cemberut, ia mendekat ke belakang Karin dan berbisik. "Rin, Karin," ia lebih mendekat lagi dan berdeham pelan. "Ssttt, cewek ..."
"Gila ya," Karin menoleh kembali, ia membulatkan matanya yang sipit itu. "Gue sibuk, dan please jangan ganggu," pekik Karin pelan.
"Jangan melotot, lo jadi tambah imut tau."
Karin melongo tepat setelah Ferian berkata dengan cepat dan setengah berbisik, sementara Ferian mengangguk dan tersenyum seraya menegakkan badannya. Lando yang tadinya memilih diam dan mencatat pelajaran ikut penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh Ferian dan Karin, maka Lando berdeham saat Karin dan Ferian sama-sama saling tatap. Karin berbalik mengabaikan dua cowok di belakangnya. Lando menyikut Ferian, "Ada-ada aja lo," Ferian dan Lando terkekeh bersama.
***
Satu menit yang lalu bel istirahat berbunyi seantero sekolah. Teriakan siswa-siswi terdengar di seputaran koridor. Suara percakapan di depan loker, derap langkah di koridor yang sudah ramai, alat masak yang beradu dengan suara murid yang sedang memesan makanan, memenuhi indera pendengaran Savina. Savina masih berada di dalam kelas bersama teman kelasnya yang lain karena ada sedikit pengumuman yang ingin disampaikan ketua kelas.
"Seminggu lagi udah UAS ya gengs, data-data sama nilai ekskul udah harus disetor ke gue paling lambat tiga hari kedepan. Jangan ada yang lupa."
Semua bergumam mengiyakan dan buru-buru ke kantin untuk mengantre makanan. Savina dan Karin membereskan buku mereka.
"Kantin, Rin?" Tanya Savina.
"Nggak deh, Sav. Gue mau nyari nilai dulu nih," Karin menoleh ke arah Savina. "Sama Feliz?"
"Mereka 'kan nyari nilai juga," Savina mengedikkan bahu. "Gue sendiri aja gapapa."
Karin menepuk bahu Savina dan menggumamkan maaf sebelum akhirnya bergegas keluar kelas menuju kantor. Savina tidak masalah apabila pergi ke kantin sendirian, maka ia merapihkan rambutnya dan berjalan ke luar kelas. Saat Savina melewati tangga ia melihat laki-laki berjambul dengan seragam yang tidak pernah rapi, Savina mempercepat langkahnya dan memutuskan untuk mengajak laki-laki itu ke kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Teen FictionBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...