"What's done is done. Make room for the new. Forgive and forget what has been done to you." - Shanna and Nicole.
***
Lima perempuan berjalan di koridor 11 IPA menuju loker di ujung koridor. Kelima perempuan itu membawa buku di satu tangan dan menggendong ransel mereka, kecuali Astrid, karena perempuan yang bersifat tomboy itu memegang minuman kaleng di tangan kanan dan menenteng ranselnya di tangan kiri. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu, tetapi berhubung guru yang mengajar Kimia barusan malas untuk menyudahi pelajaran maka berlanjutlah pelajaran mereka selama hampir dua puluh menit."Huh, kapan sih anak IPA santai? Kalo udah gini gue pengen pindah ke IPS," ujar Astrid, ia meniup-niup poninya sedari tadi.
"Eh, jangan salah. Anak IPS juga nggak sejahtera amat, buktinya IPS dua masih belajar tuh padahal udah jam segini. Gue denger-denger guru ekonomi kelas 11 galak banget tau," sahut Ovian.
Mereka sudah sampai di depan loker. Kelima perempuan itu menuju loker masing-masing dan mengganti buku pelajaran untuk jadwal besok.
Astrid menutup loker, "Sav, lo jadi pulang sama gue 'kan?" Memang rumah Astrid dan Savina searah, jadi mereka sering berangkat maupun pulang sekolah bersama.
"Jadi, Trid," Savina yang sedang menata bukunya menoleh Astrid yang sudah menjauhi lokernya dan saat ini sedang berdiri di loker sebelah Savina. Baju seragamnya keluar, dan rambutnya tidak serapi jam pertama tadi. Savina heran, Astrid selalu saja berantakan setiap pulang sekolah, padahal bisa 'kan merapikan penampilannya sedikit. "You look so messed up."
"My tipical of day," Astrid mendecak seraya memainkan kunci mobil di genggamannya.
Mereka berlima berjalan meninggalkan area loker menuju lapangan parkir. Suara perbincangan mereka bergema di sepanjang koridor. Feliz pun selalu menyapa beberapa orang yang pernah ia lihat, padahal Feliz nggak terlalu kenal sama orang itu. Enak ya jadi Feliz yang selalu ramah, ceria, dan nggak pernah segan sama orang, batin Savina. Mereka menuruni tangga dan berhenti di ujung tangga.
"Gue duluan ya, guys. Lo hati-hati loh, Trid, Rin. Jangan ngebut-ngebut," kata Feliz. Ia melambaikan tangan dan memasuki mobil berwarna putih itu.
"Gue parkir di atas tadi," Karin menunjuk parkiran atas.
"Gue bawah. Oh yaudah, hati-hati Rin, Vi. Gue sama Savina duluan."
Karin dan Ovian mengangkat tangan ke pelipis, menunjukkan gerakan hormat kepada Astrid. Savina tersenyum dan melambaikan tangan seraya berjalan bersama Astrid menuju mobil SUV temannya itu.
Cuaca siang ini benar-benar sedang terik-teriknya. Astrid berulang kali menyipitkan matanya dan terfokus ke depan. Kaca mobil Astrid tidak terlalu gelap, sehingga membuat matanya menyipit karena silau. Siang ini mereka terjebak macet, Astrid yang berada di balik kemudi menghela napas beberapa kali.
"Trid, lo haus nggak?" Savina mengalihkan pandangannya ke arah Astrid. "Beli minum dulu yuk."
"Ya gue mau sih, tapi coba lo liat. Macet parah ini, gue nggak bisa belok," gerutu Astrid. Ia membunyikan klakson tiga kali, dan menghela napas lelah.
Savina mengangguk. "Iya juga sih, lo harusnya nggak ngambil jalur ini. Minimarketnya di kiri jalan semua lagi."
"Kalo gue tau bakal macet juga gue nggak lewat sini, Savina Alisha," protes Astrid. Savina nyengir seraya menaikkan alisnya. "Gini deh, lo bantuin gue belok kiri sekarang. Liat belakang," lanjut Astrid.
Savina menengok belakang, setelah ia rasa aman untuk mengambil haluan kiri, ia mengintruksikan Astrid. Astrid segera memutar setir, suara klakson menyentak mereka berdua, "Ya elah, sabar dong," Astrid mendumal. Akhirnya mobil Astrid menepi dan berhenti di depan kedai kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Teen FictionBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...