"Cause right now I wanna get lost in this moment, keep both my eyes open. Nothing to prove, let's keep this to ourselves." – Lost, Shawn Mendes.
***
Savina melangkahkan kaki menyusuri jalan yang dilewatinya tadi, mengembalikan kenangan dan menghadapi realita hari esok di depan matanya. Rasanya, seperti Savina menggenggam kenangan itu, dan tak lama melepaskannya begitu saja. Secepat ia mengingatnya, secepat pula ia berusaha melupakannya. Tapi satu fakta yang Savina tau, ia tidak bisa.Savina mempercepat langkahnya menuju mobil Alana. Bisa-bisanya ia lupa waktu, padahal ia tau kalau Alana paling tidak bisa menunggu terlalu lama. Yah, setidaknya Savina memberi kabar pada kakaknya itu dan berkata bahwa ia butuh tambahan waktu. Savina mengikat rambut coklat gelapnya kebelakang saat handphonenya berbunyi menunjukkan adanya pesan yang singgah di aplikasi LINE miliknya.
Alana: Udah selesai?
Mampus, dia nge-LINE duluan.
Savina: Iya, bentar lagi ke tempat lo. Lo dimana?
Alana: Parkiran, bareng temen gue.
Savina mengerutkan alisnya bingung. Sebelum ia sempat bertanya, Alana sudah lebih dulu memberi tau.
Alana: Gue ketemu dia pas lagi gabut nunggu lo. Kalo belum selesai, lo lanjut aja. Gue juga mau kali ngobrol-ngobrol sama temen gue dulu. Be careful.
Savina mengembuskan napasnya lega. Sekarang Savina bisa meneruskan kegiatannya disini, dan Alana bisa sibuk dengan temannya itu. Savina menaikkan alisnya sambil mengerucutkan bibir tanda sedang berpikir, Hampir seluruh ruangan di sekolah ini sudah Savina kunjungi, kecuali toilet siswa. Tentu saja tidak mungkin Savina jauh-jauh datang kesini hanya ingin melihat toilet siswa.
Savina memutuskan untuk memasuki perpustakaan, entah sekedar mengobrol dengan penjaga perpustakaan atau melihat koleksi apa saja yang sekarang ada di perpustakaan itu. Gadis berambut coklat itu mendorong pintu kaca dengan engsel putih itu. Ia mengedarkan pandangannya ke seantero ruangan yang sebagian besar dibatasi oleh dinding kaca itu. Aroma kertas dan aroma kayu cendana memenuhi indera penciuman Savina saat ini. Ruangan yang didominasi warna putih bersih dan setiap zona bacaan itu disekat oleh kaca sehingga tampak lebih modern dibandingkan perpustakaan lain yang lebih bergaya vintage dan sederhana. Perpustakaan hari ini tampak sedikit ramai, namun tetap tidak mengurangi ketenangan yang seharusnya ada di ruangan itu.
"Savina?" panggil wanita yang duduk di balik meja dekat pintu, melambaikan tangan seraya tersenyum kepada Savina.
"Bu Feryl. Bu Feryl apa kabar, Bu?" Savina mendekat dan memeluk Bu Feryl—pengelola perpustakaan.
"Baik seperti biasanya. Ada apa nih? Padahal belum reuni loh, Sav. Mau jengukin ibu ya?" kekeh Bu Feryl.
"Ya itu sih salah satunya, Bu. Hehe, saya kangen sama semuanya," ucap Savina, tangannya bergerak menunjuk segerombol anak yang sedang duduk di tengah perpustakaan, "Tumben hari ini rame, Bu? Itu anak sekolah sini?"
Bu Feryl melihat ke arah yang ditunjuk Savina, "Iya nih, harusnya hari ini Ibu libur. Tapi karena ada tugas praktek jadinya perpustakaan buka sampai malem, Sav. Itu murid baru semua."
Bibir Savina membentuk huruf O. "Ngomong-ngomong, Ibu pernah ketemu yang lain nggak selain saya? Maksudnya temen-temen yang sering kesini dulu, gitu."
Bu Feryl mengecek buku yang diberikan oleh pengunjung perpustakaan sambil sesekali menuliskan sesuatu di buku validasi datanya, kemudian menyerahkan buku itu kepada pengunjung perpustakaan yang berdiri di depannya sembari mengucapkan terimakasih serta nasihat untuk jangan lupa mengembalikan buku tepat waktu andalannya. Wanita berkacamata yang usianya 24 tahun itu memberikan perhatian sepenuhnya kepada Savina, "Maaf, kenapa Sav?"
"Itu loh, Ibu pernah ketemu sama anak-anak yang sering ke perpustakaan nggak selain saya? Anak angkatan saya."
"Oh itu," wanita itu memutar bola matanya, tak lama ia menjentikkan jarinya. "Wah iya, ada Sav yang kesini. Sahabat kamu, yang ke perpus bareng kamu biasanya. Siapa sih namanya ya, Ibu lupa."
Savina menyipitkan matanya. "Sahabat saya? Yang ma—"
Bu Feryl segera memotong ucapan Savina, "Itu, yang anaknya tinggi, alisnya tebel, mukanya blasteran. Yang biasanya nanyain stok buku filosofi, orangnya murah senyum," Bu Feryl memijat pangkal hidungnya. "Ah iya, namanya Edgar."
Mata Savina melebar, alisnya berkerut. Edgar? Yang mana sih?
Pikiran Savina melayang, Sahabat gue, sering ke perpus bareng, buku filosofi, blasteran ... Edgar ... Ed—
Edgar? Ya tuhan, Edgar kesini berarti dia masih di Indonesia, batin Savina.
Savina menggeleng kepalanya, berusaha menghalau berbagai pikiran yang langsung menghampiri pikirannya setelah ia mengetahui bahwa sahabatnya, Edgar, pernah kesini. Setelah itu Savina berbincang sedikit bersama Bu Feryl sebelum akhirnya pamit pulang. Tak lupa Savina mengucapkan terimakasih sebelum keluar dari perpustakaan.
Saat hendak berbelok ke arah kiri, mata Savina melihat ruang kelas yang bersebrangan dengan perpustakaan. Hampir saja Savina lupa untuk mengunjungi tempat terpenting dan alasan ia mengunjungi sekolah ini. Ia sudah berada di depan pintu coklat kehitaman yang diatasnya tertulis "9A", ia menarik napas dan membuka pintu itu.
Derap langkah kaki Savina terdengar seantero kelas, disini, hanya ia sendiri. Ia mengusap deretan permukaan meja, dan berusaha untuk tidak menangis saat ini juga. Setiap jengkal ia melangkah, setiap usapan, serta setiap sudut yang ia lihat, semakin besar pula memori itu ingin masuk kembali ke pikiran Savina. ia terduduk lemas di bangku nomor dua, disini tepatnya Savina duduk di tahun terakhir SMP. Di deretan sebelahnya, juga belakangnya tempat dimana sahabat-sahabat Savina duduk.
Savina menggenggam ujung meja, air mata yang sudah lama terbendung kini mendarat mulus di pipinya. Di ruangan ini, ia melewati sebuah fase yang dinamakan kehidupan. Ada kebahagiaan, kekecewaan, kenakalan, kemenangan, kesedihan, dan kebersamaan. Savina segera menghapus air matanya itu, mengenang boleh tapi menangis jangan, batinnya. Sebisa mungkin Savina menguatkan dirinya sendiri untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Savina melihat ke arah depan kelas dimana terdapat papan tulis besar, kemudian pandangannya bergerak tepat ke pojok kiri dekat papan. Ia berdiri dengan tangan yang menumpu meja, dan menghampiri rak kaca yang barusan ia lihat. Savina mengamati figura yang bertengger di atas rak itu. Foto sekumpulan anak berseragam dan mengenakan jas sekolah yang berpose di tribun lapangan basket. Savina tersenyum, Itu adalah dirinya dan anak-anak kelas 9A lainnya, tepat sebelum pesta kelulusan diadakan.
Tak ingin berlama-lama, Ia pun berjalan ke area belakang di mana papan mading berada. Hampir seluruh tulisan disana dibuat pada saat ia lulus, tulisan berisi doa dan harapan. Ada juga puisi yang bisa membuat Savina nangis kejer sekarang. Tatapannya beralih pada bagian bawah mading, tepatnya pada kertas post-it berwarna hijau menyala.
Savina bergeming beberapa saat, sambil terus memandangi post-it. Memang, ada sesuatu yang aneh dan menyita perhatian Savina akan post-it itu. Tulisan tangan yang tertera terlihat masih baru. Pasti ada yang baru nempelin, batin Savina. Tulisan yang tidak terlalu bagus dengan tinta berwarna biru.
Sakit apabila aku mengenangnya, disini tempat kita berbagi segalanya. Apa kabar kalian semua? :)
— Xx
Tangan Savina bergerak ke arah tulisan itu, tak lama Savina tersenyum kecil.
***
A/N
Hope you like it, sambil didengerin ya lagu di mulmed. That song really help you for feeling the feels bout this chapter.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Fiksi RemajaBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...