"The very first time that I saw your brown eyes, your lips said Hello and I said Hi. I knew right then you were the one." - If I Ever Fall In Love, Pentatonix feat. Jason Derulo.
***
Telinga Savina berdengung, lambat laun senyum yang menghiasi bibirnya pudar begitu saja. Semua ini, kejadian ini, waktu ini terasa seperti diperlambat, benar-benar seperti adegan slow motion. Tadi Dave baik-baik saja. Butuh enam detik hingga Savina bisa mencerna apa yang ia lihat, ia tersentak di tempat duduknya."Sav, lo kenapa?" Tanya Astrid yang juga panik―setelah melihat Dave dan melihat Savina yang tiba-tiba tersentak.
Savina kontan berdiri dan ingin melangkah ke depan saat tangannya ditahan oleh Feliz, "Lo mau kemana, sih?"
Savina menggeleng. "Lo mending diem," Savina mencoba melepas cengkraman Feliz, namun Feliz terlalu kuat untuk itu, "Lo apa sih, Liz? Lo nggak liat itu, hah? Dia kesakitan dan butuh pertolongan," sentak Savina.
"Udah ada petugas kesehatan, Sav. Lo jangan aneh-aneh deh."
Savina menatap Feliz sengit, napasnya tersenggal. "Lo yang aneh, gue harus―"
Omongan Savina terpotong saat handphonenya berbunyi bersamaan dengan handphone Karin. Savina melihat handphone, begitu pun Karin.
Ketua dan wakil PMR tolong ke UKS sekarang juga. Urgensi.
"Sav," Karin mengisyaratkan Savina untuk segera beranjak ke UKS bersamanya.
Savina melihat ke arah lapangan sekali lagi, betapa terkejutnya ia saat figur Dave dan petugas kesehatan tidak lagi ada di sana. Ini gara-gara Feliz yang terlalu memaksanya, harusnya Savina menolong Dave saat itu juga.
Savina menyusul Karin yang sudah setengah berlari membelah kerumunan orang menuju tempat yang diinstruksikan oleh Bu Shinta―pembina PMR.
***
Savina dan Karin berlari menuju ruangan yang berjarak lima meter di depannya itu. Di depan pintu bertuliskan 'UKS', Bu Shinta dan beberapa petugas kesehatan yang Savina lihat di lapangan tadi berdiri sambil berbicara sebelum petugas kesehatan berbalik dan pergi ke arah lapangan parkir."Gi-gimana, Bu?" Tanya Karin langsung dengan terengah-engah, ia belum mengontrol napasnya setelah berlari di sepanjang koridor.
"Tenangkan diri kalian dulu, di dalam ada pasien. Tolong kalian tangani, ya? Ibu harus menangani pemain Volly yang cedera di sana," ucap Bu Shinta seraya menunjuk kantor guru.
Savina mengatur napasnya, "Baik, Bu. Tapi bagaimana dengan petugas kesehatan itu? Bukan kah mereka yang lebih ahli untuk menangani ini?"
"Memang. Tapi skill kalian sudah lebih baik sekarang, lagipula petugas kesehatan tadi dapat panggilan untuk penanganan yang lain," Bu Shinta menepuk punggung Savina dan Karin. "Ibu mohon sama kalian."
"Kami akan berusaha, Bu," Karin mengangguk meyakinkan. Bu Shinta tersenyum dan melenggang menuju kantor. Karin mendesah dan membesarkan matanya, "Huft, gue deg-degan masa."
Savina mengangkat bahu. "Udah, ayo cepetan masuk."
Savina memutar knop pintu dengan pelan, takut mengganggu si pasien. Karin yang sedang mengikat rambutnya mengikuti gerak Savina dari belakang sebelum Savina menutup pintu. Savina mengisyaratkan agar Karin mengecek keadaan pasien lebih dulu sementara Savina mengambil beberapa peralatan yang mungkin dibutuhkan meskipun Savina yakin si pasien sudah diberikan pertolongan pertama.
Karin masuk ke dalam ruangan dan beranjak ke bilik pasien yang setengah tertutup dengan tirai. Setelah Savina mendapat apa yang ia butuhkan, ia keluar dari tempat penyimpanan obat. Ia hampir melangkahkan kakinya ke arah bilik saat dirinya melihat sosok laki-laki berseragam basket terbaring lemas dengan Karin yang membuka tirai bilik pasien itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Roman pour AdolescentsBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...