"It's so loud inside my head, with words that I should have said." – Words, Skylar Grey.
***
Tepat sepuluh menit sebelum bel pulang sekolah berbunyi, seisi kelas X IPA 2 sudah menunjukan wajah antusias mereka. Padahal 20 menit sebelumnya, sangat bertolak belakang. Bahkan, dari awal pelajaran jam terakhir berlangsung, Lando —cowok terpopuler di kelas ini— tertidur dengan headset menyumpal telinganya. Pantas saja, guru yang sedang menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia itu adalah guru paling membosankan yang pernah ada.
Savina, yang duduk di depan Lando pun segera membangunkan temannya itu. 'kan nggak lucu kalau Lando tidur sambil ngiler, bisa-bisa image badboy-nya itu hilang dalam sekejap.
Savina menghadap ke arah Lando, pada awalnya ia hanya menggoyangkan tangan Lando. Tapi, Lando tak kunjung memberikan reaksinya.
"Kebo banget ya?" Karin yang duduk disebelah Savina ikut menghadap ke arah Lando.
"Ndo, bangun. Lando," bisik Savina sambil menepuk-nepuk bahu Lando, Lando bergerak dan mengubah posisinya sedikit. Namun, matanya tetap saja terpejam.
"Ish, kebo banget sih lo. Lando, bangun!" Karin ikut kesal, ia memukul bahu Lando dengan buku tulisnya. Lando tetap saja bergeming, karena tak sabar, Karin akhirnya mencubit pipi Lando dengan kencang.
Berhasil, Lando memekik kesakitan. "Aduh, duh. Sialan, pipi gue!" Seisi kelas menoleh ke arah Lando dengan tatapan bertanya. Pak Andra melayangkan tatapan tajamnya kepada Lando, Lando tersenyum minta maaf, tepatnya senyum minta maaf yang sedikit dipaksakan.
Setelah itu, Pak Andra kembali menerangkan pelajaran. Lando mengusap pipinya yang merah, sejurus kemudian ia melihat cewek paling menyebalkan dan garang selain Astrid sedang terkekeh didepannya itu. Muka imut tapi tetep aja tenaga badak, batin Lando. Setelah kekehan— tawa Karin mereda, Lando langsung mengacungkan jari tengahnya kepada Karin. Karin hanya memeletkan lidahnya kemudian tersenyum penuh kemenangan, sementara Savina tertawa renyah.
Bel sekolah pun berbunyi, menandakan berakhirnya seluruh pelajaran untuk hari Kamis yang terik ini.
Savina mengeluarkan handphonenya dan mengetikkan pesan untuk Alana.
Savina: Gue langsung kerja kelompok di rumah Astrid, ya.
***
Beginilah kelakuan Savina dan teman-temannya, seharusnya sejak 25 menit yang lalu, tugas-tugas kelompok yang didapat sudah selesai dan mereka bisa bersantai di rumah Astrid yang bergaya city house namun tetap asri. Tapi, bukannya berkutat dengan tugas-tugas sekolah, sedari tadi mereka hanya bingung memikirkan film apa yang akan ditonton beserta makanan dan minuman pendampingnya. Alhasil, inilah yang disebut dengan nongkrong santai berjudulkan kerja kelompok.
Diantara rumah teman-teman Savina yang lain, rumah Astrid yang paling nyaman dan sunyi, cocok dijadikan tempat nongkrong. Ya, maklum, Mama Papanya sering ditugaskan ke luar kota. Sementara, kakak laki-laki Astrid kuliah di kota yang jauh dari Jakarta, namanya Afran. Astrid yang kesepian di dalam rumah besarnya.
"Gimana kalo Feliz sama gue aja yang nyiapin makanannya. Lo yang lain, pilih filmnya. Itu, pilih aja di rak DVD sebelah kiri. Film baru semua itu," tunjuk Astrid ke arah rak di sebelah home teater.
Savina mendekati rak yang penuh dengan DVD, Astrid bener-bener movie maniac.
Karin melirik rak dengan bacaan "SCI-FI". "Gimana kalo yang—"
"Jangan sci-fi, jangan horror. Bosen, Rin," seloroh Ovian. "Itu, tuh. Paper towns aja."
Dari arah dapur, Astrid membawa nampan berisi French fries diikuti Feliz yang membawa 5 botol soft drink. Mereka semua mengatur posisi duduk yang paling nyaman, Astrid memutar filmnya. Beragam ekspresi mereka tunjukkan di sepanjang film. Semua fokus menonton filmnya, hanya Feliz yang sedari tadi mengomentari film, padahal Savina yakin Feliz nggak sepenuhnya ngerti.
"Wey, gila. Cara is me as fudge," sorak Astrid. Otomatis, semua memandangi Astrid heran. "Gue bilang fudge ya, that's not harsh," elak Astrid.
"Margot jahat banget ya, masa yang bener-bener tulus sama dia digantungin gitu aja. Gue ngiranya Margot juga suka tu cowok tau nggak, lagian cowoknya 'kan cute." Komentar Feliz. Tuh 'kan, dia ngelantur.
"Margo, Liz. Margo!" Pekik Karin gemas. "Tapi nih ya, menurut lo guys gimana? Kalo ada cowok yang udah tulus sama kita, dia udah mikir bahwa kita itu something special for him, tapi ternyata si cewek malah nggak nganggep serius. At least, si cewek juga keliatannya nunjukin bahwa dia juga punya rasa yang sama." Karin memperhatikan teman-temannya bergantian. Astrid dan Feliz hanya mengedikkan bahunya tanda tak ingin berkomentar.
"Ya, kalo gue sih mikirnya itu keterlaluan. Maksud gue, harusnya si cewek nggak boleh gitu lah. It's ended up hurting each other,'' sahut Ovian sambil menatap lurus ke depan. Sepertinya, Ovian sedang memikirkan sesuatu dan hanya dirinya sendiri yang mengerti apa itu.
"We can't blame both of them, I mean Margo and Quentin," Savina mengibaskan tangan. "Tapi, gue juga nggak membenarkan mereka berdua. Quentin yang terlalu ambisisus sama Margo, and guess what? Dia bahkan nggak dengerin kata-kata sahabatnya yang nyuruh dia berhenti sampai situ aja karna apa yang dilakuin Quentin nggak membuahkan apa-apa 'kan?
Seharusnya Quentin sadar itu, lebih baik mempertahankan persahabatan dan nggak terlalu berharap sama Margo. Margo, disini dia digambarkan sebagai seorang cewek yang bebas. Dan definisi kebebasan itu ya nggak dikekang sama apapun dan ikatan apapun itu. She can lived without boy who loved her, dia nggak bisa terikat sama yang namanya 'relationship', entah sampai kapan. That's why dia biasa aja sama Quentin." Kata-kata itu entah mengapa bisa mengalir begitu saja di pikiran Savina, bersamaan dengan ucapan itu, teman-teman Savina mengiyakan pernyataannya barusan.
Mereka terdiam, larut dengan pikiran masing-masing. Satu hal yang baru Savina ingat, bahwa hanya dirinyalah yang hingga saat ini belum menemukan someone special. Karena memang sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di SMA, hari pertama MOS, keseharian di sekolah, sampai detik ini juga belum ada cowok yang menarik perhatiannya. Sementara, teman-temannya yang lain mulai menunjukkan bahwa mereka punya seseorang yang dipikirkan setiap saat. Bahkan, Karin sudah menemukan siapa cintanya di SMA, persis 3 hari yang lalu.
***
A/N
HAI, FELLAS!!!
Wah, udah lama banget gue nggak update cerita ini karena suatu dan lain hal yang nggak bisa disebutin. Gue minta maaf banget karena baru update sekarang, maafkeun ya. Karena ini masih suasana lebaran, menurut gue sih gitu, jadi .... Salma ingin mengucapkan Minal Aidzin WalFaizin semua pembaca setia The Hidden Words, mohon maaf lahir dan batin ya. It's better now than never 'kan hehe. Semoga kedepannya kita bisa lebih baik. Udah basa-basinya, dan selamat membaca, fellas!Much love,
Salma.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Teen FictionBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...