FOURTEENTH : EVERY RANDOM THINGS

18 1 0
                                    

"I feel that as long as you're honest, you have the opportunity to grow. It's when you shut down, go into denial, and try to start hiding things from yourself and others, that's when you lock in certain behaviors and attitudes that keep you stuck."- Tracy McMillan.

***

Perempuan yang mengenakan piyama berwarna biru pastel kebesaran di tubuh kurusnya itu membuka matanya perlahan. Ruangan berukuran 4x4 yang ditempatinya saat ini gelap gulita, tirai yang menutupi jendelanya belum terbuka. Perempuan itu mengerjapkan mata beberapa kali dan segera bangkit dari kasurnya, kakinya menapaki lantai yang dingin. Ia membuka tirai yang menutup jendela kaca sekaligus pintu menuju balkon kamar, sinar matahari pagi langsung menyeruak masuk menerangi kamar.

Aroma petrichor memenuhi indera penciumannya, sangat alami. Perempuan itu kembali duduk di tepi kasurnya dan melirik nakas. Jam digital di sebelah standing name bertuliskan 'Savina' menunjukan angka 8:25 A.M.

Savina menguap dan merentangkan tangannya. Handphone gue mana ya? Pikirnya. Matanya menyapu seluruh sudut kasur kemudian beralih ke atas nakas, di sanalah handphone berwarna silver itu tergeletak dengan setengah bagian yang tertutup novel. Ada satu pesan yang masuk di notifnya.

Alana Iscandita: Dek, kiriman gue udah nyampe? Gue udah ngirim beberapa minggu yang lalu.

Savina mengerutkan dahi.

Savina Alisha: Kiriman apa? Nggak ada apa-apa tuh.

Alana Iscandita: Paketan gue. Astaga, kata kurirnya bakal nyampe dalam minggu ini. Nyasar kali ya?

Savina Alisha: Wah, wah. Tumben inget gue kak, haha. Ya mana gue tau. Belanda jauh banget lah, mungkin estimasinya emang agak lama.

Alana Iscandita: Gue emang baik! Kalo udah nyampe bilang gue.

Savina mengetikkan balasan kepada perempuan yang berbeda tiga tahun darinya itu kemudian mengunci layar handphonenya. Setelah tiga menit berdiam diri, akhirnya Savina memutuskan untuk bergegas membersihkan diri.

***


Savina sudah berada di balkon kamar, tangannya menggenggam journal coklat. Semilir angin menyapu kulit wajahnya, Savina duduk di kursi putih seraya meletakkan vanilla latte di meja. Uap panas menggelitik hidung Savina, harum vanilla yang menenangkan di pagi Juli yang cerah. Ia membuka journal coklatnya dan mulai menuliskan beberapa baris kalimat dengan tinta berwarna hijau.

- 20 Juli 2016

Yesterday, in the basketball hall I met you. I never expect it before. Gue kira pertemuan kita di koridor waktu hujan dan di koridor 11 IPS waktu itu nggak akan terulang lagi. Gue kira nggak akan ada lagi yang namanya pertemuan. Gue pikir, pertemuan itu hanya sebatas ketidaksengajaan yang terasa nyata. Atau mungkin gue berimajinasi waktu itu? Tapi nggak mungkin, karena kita sempat bersentuhan. Oh, bukan. Lebih tepatnya gue yang nyentuh kaki lo, itu pun sangat singkat.

Gue hitung-hitung, pertemuan kita terjadi empat kali. Haha, sempet-sempetnya ya gue hitung. Nah, kalo udah empat kali begitu ... apa itu hanya sebuah ketidaksengajaan belaka? Menurut lo gimana? Ngomong-ngomong, lo ganteng banget dengan seragam basket itu. Perpaduan yang pas untuk gue rekam baik-baik di otak gue ini. Muka lo yang keliatan capek banget pas lo pejemin mata, gue selalu suka kalo lo ngomong saat mata lo terpejam.

Gue ... bahkan nggak tau lo kapten basket, dan yah, gue juga nggak tau nama lo dari awal kita ketemu. Gue selalu manggil lo 'kamu' di journal ini. Lo nyadar nggak sih Dave, kalo gue selalu membicarakan lo, ngebahas lo, and every little things about you I write down in this journal. Tapi tenang aja, gue bakal simpen journal ini baik-baik supaya lo nggak pernah tau curahan hati gue yang sangat menye ini. Gue malu gila kalo lo baca.

The Hidden WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang