"We were young and the world spun for us alone." – The Lost Art of Keeping Secrets.
***
Teruntuk,
Ganindra Satya.Hai, Gan. Well, I don't even know what I wanna say to you and maybe just 'Hai'. Gue tau ini terdengar sangat kaku, mengingat lamanya kita bersahabat. Tapi setelah apa yang waktu itu terjadi, gue gak tau mau ngomong apa. Gue bahkan gak punya cukup keberanian untuk nulis ini, but, I did it. Tapi gue gak janji bakal kirim ini ke lo, cause you know my type. Gue gak mau mengingat ke-ignorant gue waktu itu ke lo. I'm sorry Gan, I'm so sorry.
Gue tau lo punya alasan untuk pergi, pergi dari gue, dari temen-temen kita. Mungkin gue yang egois, gue gak mau denger, gak mau nerima apapun alasan lo waktu itu. Gue sedih, Gan. Rasanya kayak gue berdiri sendiri di tepi jurang yang curam, gak ada satupun yang berdiri disamping gue atau setidaknya menyadarkan gue kalo itu semua gak nyata. Selama ini lo yang ada disamping gue, ada temen-temen kita juga yang selalu melengkapi keseharian kita semua. Tapi, pada kenyataannya gak seperti yang kita semua harapkan, Gan.
Do you remember? You've promised me to never leave me alone. Lo bilang, gue terlalu rapuh, karena itu lo mau selalu jadi penopang buat gue. Lo juga bilang, lo gak akan jadi pacar gue karna kita bakalan lebih abadi kalo jadi sahabat. Ya, gue terima fakta itu. Tapi kenapa lo seakan-akan menarik kata-kata lo itu? Lo pergi Gan, pergi tanpa sebab yang jelas. Lo berpikir bahwa tanpa lo ngasi tau lo akan pergi, gue akan baik-baik aja. Gak, Gan, lo sepenuhnya salah. Justru kepergian lo yang tanpa kabar membuat gue down. I'm upset, I'm done.
Tertanda,
Savina Alisha.***
Cewek yang sudah mengenakan piyama tidur itu terlihat sangat gelisah. Yang ia lakukan hanya mengitari kamarnya sambil menggigit kukunya. Sesekali ia duduk di sofa sambil mengamati kamarnya yang didominasi warna hijau muda, warna kesukaannya.
"Sav, boleh masuk?'' ujar cewek yang memiliki wajah mirip dengan Savina. Membuka pintu, kemudian menutupnya.
Tak ada jawaban dari Savina, Ia tetap sibuk dengan kegelisahannya. Sedikitpun ia tak menghiraukan kakaknya, Alana, yang sudah duduk di tepi kasur. Alana berdeham.
"Loh, kakak! Dari kapan?" matanya membulat, sepertinya terkejut dengan kehadiran Alana. "Mau ngapain sih? 'kan belum ketuk pintu tadi."
"Tuh 'kan lo gak sadar, lo lagi ada masalah? Cerita ke gue," tembaknya tepat sasaran, matanya memicing hendak mencari tau apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya itu.
"Nothing. Lagian lo kenapa bisa bilang gitu deh?"
"Gue tau lo lebih dari apapun, adikku sayang. Gue tau ada yang mengganjal dipikiran lo, just tell me," Alana mengubah posisi duduknya. "Masalah surat itu? Lo inget temen-temen lo?"
"Gak sepenuhnya bener, gak sepenuhnya salah. Gue gak mikirin masalah surat itu, tapi gue inget mereka kak. Gue kangen, you already know. Walaupun gue kesel, tapi gue pingin kita semua bisa balik lagi," Savina menghela napasnya pelan. "Can we?"
Alana mengamati adiknya, pandangannya melembut bak seseorang yang ingin menenangkan seseorang yang sedang tertekan. Disaat seperti inilah jiwa psikolog Alana muncul. "Sav, kalo memang kalian ditakdirkan untuk bersahabat sampai kapanpun itu, kalian bakal balik lagi, pasti. Dan kalaupun kalian dibatesin sama jarak yang bahkan kamu sendiri gak tau, kalian masih tetep sahabat 'kan?"
Alana berhenti sejenak, menyigar rambut coklat terangnya. "Inget, lebih baik punya sahabat yang jauh tapi mengerti dan selalu berusaha memahami, daripada sahabat deket yang kamu sendiri gak tau apakah mereka tulus. Kakak yakin, mereka yang terbaik buat kamu."
"Kenapa kakak sebegitu yakin-nya?"
"Karena kakak bisa ngeliat ketulusan mereka, tapi kamu gak perlu liat itu. Kamu hanya perlu rasain," tangan Alana bergerak ke bahu Savina. "Tuhan udah punya rencana, apapun itu, pasti yang terbaik."
***
A/N
Setelah sekian lama menunda untuk publish cerita ini, akhirnya it's published. Hope you like it! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Words
Ficção AdolescenteBagaikan hitam di atas putih. Tinta beradu di atas kertas. Tentang persahabatan, cinta, masa lalu, dan segala kemungkinan lainnya yang akan terjadi. Semuanya, tentang the hidden words, the hidden feelings. ***** " the more you hide your feelings, th...