Chapter 3

258 19 0
                                    

"Terimakasih" aku mengambil bunga mawar putih itu digenggamanku. Seperti Justin. Jika ia saja bisa membelikan untuk pacarnya, mengapa aku tidak? Satu pegawai lain membantuku meletakkan sepot bunga anggrek ungu dijok belakang mobil. Aku langsung bergegas menuju rumah sakit Chris dirawat.

Dilantai atas, aku langsung menemukan ruangan yang usdah sepekan selalu kukunjungi setiap sepulang dari kuliah. Disana Chris berbaring dengan berbagai alat yang menempel ditubuhnya. Tangannya memainkan ponselnya, tersenyum ketika menyadari aku datang.

"Hai sayang" kami berciuman sekejap. Aku mengajukan bunga mawar putih yang kusembunyikan dibelakang tanganku tepat dihadapan wajahnya. Chris terkejut, ia meletakkan ponsel dan segera menerima bungaku.

"Tumben sekali kau seperti ini"

Aku tersenyum, 'ya , ini karena Justin.'

"Kau suka?"

Chris mengangguk.

"Bagaimana kata dokter? Kapan kau akan pulang?" Aku bertanya lagi.

"Mungkin besok, entahlah. Rasanya badanku makin tak sehat"

"Berhenti mengeluh. Kau baik-baik saja Chris." Ucapanku hanya dibalas dengan senyuman.

..

Chris tertidur dikamarnya setelah berbincang denganku selama beberapa jam lamanya. Ia semakin terlihat kurus dan itu menyakitkanku. Aku diam-diam mengendap keluar kamar seraya menunggu kakak Chris, Caitlin untuk datang bergantian menunggui Chris disini.
Tanganku lihai mengetik kata perkata untuk mengirimi Cait pesan, tiba saja mataku menemukan sosok Justin yang tengah terduduk dideretan kursi rumah sakit dengan tangan meremas rambut, terlihat frustasi.

".. aku merindukanmu.." kudengar ia berbicara seorang diri. 'Apa dia baik-baik saja?'' Rasanya aku ingin tahu beban apa yang tengah ia rasakan hingga Justin selemah ini. Justin terlihat baik baik saja saat dikuliah tadi.

Perlahan namun pasti, langkahku semakin mendekat kearahnya. Kebetulan aku menyimpan sebungkus tisu disakuku. Kulihat airmata mengiringinya. Justin mendongak, matanya benar-benar merah dan itu sangat menyiksaku. Aku tahu ini mengherankan, rasanya aku ingin melepaskan semua bebannya. Mengambil tisu yang kuberikan, Justin menunduk lagi.

"Thanks"

Aku menghela lega. Suaranya sedikit membaik, 'ku pikir.' Duduk disampingnya, aku mengusap punggungnya secara berkala. Aku tidak tahu apa makna dari perbuatanku ini. Hanya saja aku meniru dari beberapa adegan film yang pernah kutonton dan itu berhasil membuat yang terluka sedikit membaik. Aku berharap begitupun dengan Justin.

"Sedang apa kau kemari Yn?"

Aku menelan ludah, 'bagaimana jika aku jujur? Apa justin masih mau bersama denganku' oh tidak! Maksudku, aku- 'oh shit! Rasanya sulit menemukan kata-kata disaat sulit seperti ini'

"Aku menunggui teman sakit. Dirimu sendiri?" Dustaku.

Ia menghela nafas panjang. Dan aku tersadar bahwa kami tengah terduduk didepan ruang ICU dimana aku menemukan Justin terpuruk saat ini. 'Siapa yang sakit? Mengapa Justin tampak begitu sedih?' kuperhatikan juga ditanggannya sudah tidak menggenggam bunga mawar merah itu.

Sampai beberapa menit hening, Justin tidak menjawab. Ia seolah bergelut dengan pikirannya sendiri. Sesekali aku melirik, Justin mengerutkan kening tanpa menatapku dan hanya berfokus pada lantai putih rumah sakit. Hingga aku mendengar suara langkah dari dalam ruangan. Kami sama sama mendongak, mendapati seorang pria berjas putih tengah menutup pintu ruang ICU yang baunya begitu menyengat lubang hidungku, begitu steril.

Justin bangkit. "Bagaimana?"

Yang diajak berbicara menggeleng pelan. Justin menggeram kesal, menarik rambutnya seolah menyalahkan dirinya atas kejadian ini. 'apa dia barusaja menabrak seseorang? Atau kenapa?'

"Maafkan saya Justin, kami akan tetap membantu dia agar tetap hidup." Sang dokter menepuk bahu Justin sebelum berlalu. Justin kembali terduduk dikursi sebelumnya. Menenggelamkan wajah diantara kedua telapak tangannya, kupikir ia menangis lagi. Aku bangkit dari kursi untuk melihat siapa sosok didalam ICU yang membuat Justin seperti ini. Namun, belum saja aku melangkah, Justin menarik tanganku hingga aku kembali terduduk dengan bokong yang menempel diatas kursi terdengar keras. Aku mengaduh karena itu. Sedetik kemudian, Justin memelukku. Aku sempat ingin menyingkirkannya namun tiba saja Justin memohon aku untuk tinggal dalam sekejap. Suaranya merintih dalam kepedihan teramat dalam.

"Aku mohon... aku butuh seseorang saat ini. Tetaplah seperti ini sampai keadaanku membaik" rengeknya yang kedengarannya begitu menyakitkan. Aku sampai berkaca hanya mendengar suara itu. Aku mengangguk perlahan menyetujuinya. Membalas pelukannya dengan memberikan usapan kedua kali pada punggungnya. "Terimakasih" ucapnya yang terakhir kali sebelum akhirnya kami menikmati pelukan yang tidak pernah kuduga sebelumnya.

..

Hari kedua kuliah, mataku sibuk mencari sosok Justin difakultas kesehatan yang gedungnya tak jauh dari fakultas hukum dimana yang menjadi jurusanku. Ditengah mencari, Caitlin, menelfonku.

"Hallo?" Mataku masih celingukan mencari mobil Justin yang mungkin saja terparkir disana, tetapi tidak ada yang semencolok Justin.

"Kau dimana Yn?" Suara Cait terdengar panik. 'Tunggu, ada apa?' Aku menghentikan aksi mencariku dan berfokus pada Caitlin didalam telfon.

"Masih dikampus. Ada apa?"

"Sepertinya Chris akan melakukan operasi. Dia mencarimu. Kau bisa kemari?"

"Apa? Bukankah dia seharusnya pulang hari ini?"

"Tidak sayang, Chris mengalami luka dalam dan harus dilakukan operasi. Dan bekas jahitannya kemarin robek lagi. Dia benar-benar sial"

"Oh baiklah, aku akan kesana."

"Ok, aku menunggumu. Operasinya akan berlangsung sejam lagi"

"Ok, thanks Cait"

Sebelum kerumah sakit, aku sempatkan untuk membelikan Chris setangkai bunga mawar putih seperti kemarin. Dan tak disangka, aku melihat Justin disana. Dengan berpakaian formal layaknya orang kantoran, Justin membeli setangkai mawar merah seperti kemarin, membayarnya dikasir lalu berlalu dan tidak melihatku. Aku semakin penasaran dengan semua ini. 'Bukankah dia seorang anak kuliahan? Mengapa harus memakai  pakaian formal? Dia membeli mawar merah lagi?'

"Ini saja?" Lagi, pegawai toko bunga itu mengagetkanku. Aku mengangguk lagi dan berusaha tidak lagi memperhatikan Justin yang sudah berlalu dengan mobil sportnya.

Sesudahnya membayar bunga mawar putihku untuk Chris, aku langsung menancap gas kearah rumah sakit, sedikit terburu karena operasinya akan berlangsung satu jam lagi, itupun saat Cait menelfonku. Dan ini sudah lima belas menit sesudah kami mengakhiri perbincangan kami ditelfon. Didalam mobil, aku mencoba relax  dengan mendengarkan beberapa lagu kesukaanku. liriknya yang menyarat seolah membuatku terhanyut didalamnya, apalagi jika Calum,personil dari band yang kusukai yang membawakannya. 'Oh begitu indah...'

'I wish that i could wake up with amnesia, and forget about this stupid little thing' batinku menirukan liriknya hingga tak sadar aku sudah memarkirkan mobil dihalaman depan rumah sakit. Aku berburu masuk didalamnya dengan menggenggam semawar putih yang kubeli tadi. Dan lagi, untuk berapa kalinya aku melihat Justin masuk kedalam ruang ICU dimana kami berpelukan begitu lama didepan ruangannya. Itu memicu adrenalinku untuk sekedar mengintip siapa dibalik sosok ruang ICU itu. 'Apakah pacar Justin? Ibunya? Seseorang yang tak sengaja Justin tabrak? Apa dia koma?'

Ah! Rasanya kepalaku hampir meledak dengan semua pertanyaan ini. Haruskah aku melihatnya sekarang?

Rose For Rose ( Bieber Love Story )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang