Chapter 1

626 33 3
                                    

Rose..
Dimana kau..

airmataku mengalir lagi. Setiap kali mimpi itu datang dan selalu menggangu, dan ketika aku tersadar aku tengah tertidur diatas dekapan erat tanganku dipunggung tangan dinginnya. 'Oh Rose, aku merindukanmu' dia seolah mati dihadapanku namun begitu nyata dalam bayangan. Aku sudah menunggunya 2 tahun belakangan dan kini aku tak mengerti ketika semua berpikir untuk menyerah menghentikan kedukaanku dengan merelakannya. Tentu aku menolak, namun itu hanya akan bertahan setahun yang akan datang. Dokter mengatakan itu padaku siang ini.

"Maksudmu aku tidak punya harapan lagi untuknya?"

Dia menggeleng. 'Brengsek!'

"Aku mohon bantu aku. Biarkan dia tetap hidup. Ini baru 2 tahun. Aku pernah mendengar ada yang terbangun setelah sekian tahun yang lamanya tak sebanding dengan Rose" aku merengek dihadapan pria berjas putih yang akhir-akhir ini dekat denganku mengenai Rose, istriku.

"Saya tahu. Hanya saja, istrimu sudah tidak merespon apa apa untuk obat rasa sakit yang teramat sakit untuk memicunya agar bangun dari koma, mungkin benturan keras dikepalanya membuat ini semakin sulit"

"Dia merespon. Aku mohon tunggu hingga ia merespon. Aku janji akan membayar tepat waktu dan akan terus seperti itu. Asal jangan pernah menyerah untuknya Ben. Aku sangat mencintainya"

Dan kemudian rengekan keduaku pada dokter Rose itupun mulai terluluhkan. Ben seolah mempertimbangkan keputusannya dengan menganggukkan kepala perlahan sebelum mulutnya terbuka mengatakan sesuatu, "baiklah. Aku akan usahakan. Hanya saja aku tak ingin kau terlalu berharap karena aku tak ingin melihatmu terus berduka selama hidupmu"

"Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku, fokuskan saja pada Rose"

..

Mengendarai mobil sport-ku dijalanan bebas hambatan kecepatan diatas ambang maksimal. Tak ada yang kupikirkan. Toh jika memang takdirku mati disini aku rela. Aku tidak mempunyai gairahku untuk melanjutkan hidup jika nantinya Rose juga akan meninggalkanku. Aku berharap Tuhan selalu mendengarku. Mendengar setiap rintihan hati yang terluka ini.

Berhenti dibagian pembelian karcis masuk, aku kembali menancap gasku hingga 100km/jam. Tanpa sadar kaki menginjak gas hingga kekuatan penuh sebelum akhirnya aku menghentikan aksi membahayakanku seketika berbelok kearah jalanan yang lebih padat. Harus berbelok kearah jalanan yang lebih sempit dari jalanan raya padat tadi hingga terparkir dihalaman depan rumah Momku. Hari ini adalah ultahnya. Meskipun hatiku hancur menerima kenyataan dokter siang ini dan selalu seperti itu, aku akan tetap mengatakan hari bahagianya. Lagipula tidak akan memakan waktu lama. Dan Mom sangat mengerti kondisiku. Maksud hati ingin mengatakan ucapan manis diulang tahunnya aku tak tertahan ketika mendaratkan pipiku diatas bahunya, airmata sejalan dengan kesedihanku. Sepertinya Mom adalah satu-satunya yang bisa membantuku untuk bangkit lagi.

"Ada apa sayangku?" Suaranya bagai obat tersendiri untuk luka lamaku yang terus mendalam.

"Rose..." jawabku parau.

"Ada apa dengannya?"

'Tidak dengan suara itu!' Mom tampak begitu khawatir dan cemas. Dan entah mengapa aku berfikir bahwa ia seolah berbicara Rose sudah tiada. Atau berita duka lainnya.

"Tidak. Dia masih disana. Maksudku, Ben, tadi siang berbicara padaku. Ia bilang aku harus menyerah untuk Rose. A-ak. Hmm- ak-aku tidak bisa Mom"

"Mom tahu itu sayang. Mom akan terus mendukungmu untuk tetap mempertahankan Rose apapun resikonya. Kau tetap sekolah dan urus perusahaan Ayah, dan Mom akan membantu setengah dari biaya Rose. Sudah, jangan menangis. Tidak ada satu manusiapun yang boleh menyerah untuk Rose-Mu. Termasuk Ben"

Ucapannya begitu menenangkan. Ia menjelaskan begitu tenang dan membuat hatiku terbawa olehnya. Aku semakin mempererat pelukannya mengangguk setuju atas semuanya. Dalam hati aku mengucap syukur karena sampai detik ini Mom sangat setia untuk tetap berusaha mengabulkan semua perjuanganku terhadap rose. Setidaknya ini membuatku sedikit tenang karena ada seorang yang berada dipihakku.

Didalam kamarku, aku merenung seraya membaca buku mata kuliahku diwaktu selang. Aku memang tidak sanggup untuk pulang kerumahku sendiri yang kutempati dulu bersama Rose. Itu akan membuatku makin terpukul. Jadi aku memilih untuk bertempat tinggal dirumah mom sementara waktu meskipun rumahnya termasuk jauh dari semua tempat yang menjadi aktifitasku sehari-hari. Dari mulai kuliah, kantor juga rumah sakit Rose.

"Justin.."

Tersentak, aku sadar tertidur diatas meja belajarku. Disisi pintu kamar terdengar suara ketukan Mom.

"I'm here"

"Sudah pukul 4 sore sayang. Bukankah kau memiliki jam kuliah?"

"Baiklah, aku bersiap Mom"

Aku memang dipaksa untuk menjejang pendidikan lagi. Katanya untuk sedikit mengalihkan perhatianku yang terlalu mengarah pada Rose. Tentu saja selain mengantor dikantor ayah yang sahamnya hampir seluruhnya menjadi hak warisku.

Melewati pintu, aku menuruni tangga satu persatu. Mom tengah memasak didapur ditemani bibi Candie.

"Mom, aku berangkat" aku mendekat mencium pipinya sekejap.

"Ok, hati-hati sayangku."
Aku melambai kearahnya seraya berjalan kedepan rumah. Meraih kunci untuk membuka mobil, aku langsung menancap gas kearah kuliahan. Memarkirkan mobil diantara mobil para mahasiswa yang mungkin umurnya dibawahku dan sebagian lain diatasku. Aku mengacuhkan itu dan langsung mencari kelasku. Melangkah maju, barusaja 2 langkah aku dihadapkan dengan gadis yang berdiri tak jauh dariku. Berusaha menghalangi jalan. Yovanna, gadis yang dulunya pernah kudekati itu masih setia untuk merayuku meskipun aku telah tertutup rapat untuk gadis lain selain Rose.

"Hai, kau punya jam kuliah sore ini?"

"Hmm" ucapku cuek, berjalan meninggalkannya. Kudengar decitan high heelsnya mengikuti dibelakangku. 'Sialan'

"Apakah itu teknologi pangan?"

"Entahlah Yov. Aku bahkan lupa soal mata kuliahku. Tinggalkan aku, aku ingin sendiri" sejak itu suara kakinya terhenti kudengar dan mungkin aku berhasil membuatnya menyingkir dariku.

I'm sorry yovanna. Dibatinku selalu menyesali kedinginanku terhadap siapapun yang mendekat dan- bruuk! Seseorang menabrakku

'Fuck-' aku memotong ocehan dalam batinku seketika sadar siapa yang melakukannya. Ia menatap dalam ketakutan, ia seperti tengah terburu hingga bertabrakan denganku. Wajahnya yang begitu cantik begitupun polesan make-up nya yang tampak natural begitu menggoda. Ditambah rambut hitamnya yang mempermanis paras dan keseluruhan tubuh profesionalnya itu. Dia benar-benar menaruh sebagian besar dari gambaran wajahnya pada Rose. 'Mereka benar-benar mirip, oh ya tuhan..' hanya saja Rose mempunyai rambut pirang yang sedikit kecoklatan sepertiku dan dia berambut hitam.

"Ma-.."

Aku menginterupsinya. "Siapa namamu?"

"A-apa?" Ia tampak gelisah. Sesekali ia menoleh kearah belakang hingga membuatku penasaran. Tepat tak jauh beberapa meter beberapa gerombolan gadis lain berjalan kearahnya. Seperti ingin melindunginya, aku langsung menarik tubuhnya untuk berlindung dibelakangku. Tak lama yang leader dari gangster yang tak pantas untuk menjadi tandinganku itu melipat dada dihadapanku.

"J-U-S-T-I-N B-I-E-B-E-R" ia mengeja namaku dengan memainkan kukunya yang berwarna. Aku menatap tajam. Gadis itu tetap meringkuk meminta perlindunganku.

Vote and comment please!:D

Rose For Rose ( Bieber Love Story )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang