Circle

3.2K 261 38
                                        

Genre: Teen Fiction.

Di dunia ini, ada sebuah lingkaran magis yang tak terlihat. Lingkaran itu memiliki dua sisi, sisi dalam dan sisi luar. Sisi bagian dalam, diisi oleh keajaiban dan kebahagiaan, sementara sisi luar dipenuhi rasa sakit dan penderitaan.

Di dunia ini, ada sebuah lingkaran magis yang tak terlihat. Di sana, ada sisi dalam dan sisi luar. Mereka di dalam ..., dan aku di luar.

"Itu konyol!"

Pemuda itu nyaris terbahak ketika aku mengatakan hal itu. Tak ada yang bisa kulakukan, lantas aku hanya menatapnya tanpa ekspresi apa pun. Yahh, itu konyol memang. Namun bagiku ... seperti itulah cara dunia bekerja.

"Aku tidak pernah mengerti apa yang kaupikirkan, Anna. Kau aneh!" kekehnya lagi.

Aku berdecih lirih, lantas aku menepis telapak tangannya yang tengah menepuk-nepuk pucuk kepalaku sembari ia masih tertawa.

"Aku juga tak mengerti, mengapa kau masih bisa tertawa seperti ini ... dengan keadaanmu yang sekarang ...."

Ia terdiam.

Sepasang obsidiannya teralih dariku, menatap rerumputan yang tengah dipijak oleh kakinya. Senyum lebarnya beberapa detik yang lalu, kini berubah menjadi seulas senyum sendu. Hanya sesaat, sampai kemudian ia kembali menyunggingkan senyuman yang lebih cerah dari sebelumnya.

Seolah ia memang lahir untuk tersenyum dan bahagia.

"Kaubilang ... lingkaran itu memiliki dua sisi, bukan? Kalau begitu ... aku pastilah salah seorang yang berada di sisi dalam," tuturnya di sela senyum lima jari. "Dan jika kau mengatakan bahwa kau ada di luar, maka aku akan menyeretmu ke dalam lingkaran itu.

"Jika cara itu masih tidak berhasil ... maka aku akan keluar dari lingkaran itu dan membawa keajaiban yang ada di sana kepadamu. Sederhana, bukan?"

Kalimat itu membuatku tertegun.

Ahh ... aku pasti lagi-lagi menunjukkan wajah bodohku di hadapannya.

Mengapa orang ini selalu mengalahkanku? Mengapa dia selalu ....

"Fian!"

Sebuah suara yang memanggil namanya membuat obrolan kami seketika terhenti. Seorang gadis berbaju putih melangkah cepat ke arah kami dari kejauhan, wajahnya tampak kesal.

Tuk!

Ia mencatuk pucuk kepala Fian ketika akhirnya ia berdiri di hadapan kami, lantas setelahnya ia menatap tajam dengan kedua tangan yang bertengger di pinggang rampingnya, berusaha agar terlihat galak dan menyeramkan.

"Sudah berkali-kali kuperingatkan untuk tidak pergi keluar, kan?! Kalau kau kambuh, bagaimana? Dan lagi, kau selalu menghilang ketika jadwal kemoterapimu, membuat kami bingung saja!"

"Maaf, Suster. Habisnya ... kemoterapi itu menyebalkan," ia kembali terkekeh usil.

"Kalau kau tidak diobati, kau tidak akan pernah bisa sembuh!"

Tidak ... dia memang tak akan pernah bisa sembuh ....

Suster yang sedang bicara ini pun pastilah mengetahui hal itu. Fian ... aku yakin dia juga mengetahui hal itu. Bahkan aku yang baru masuk ke tempat ini sekitar bulan lalu pun tahu ....

Leukemia stadium akhir bukanlah sesuatu yang dapat disembuhkan.

Dia hanya bertahan ... untuk menunggu kematian ....

"Suster, bisakah kau tinggalkan kami sebentar? Aku akan segera kembali ke kamarku," tutur Fian tiba-tiba, membuatku yang sempat hanyut dalam lamunan kembali tersentak ke alam sadarku.

"Aku janji!" ringisnya ketika suster itu menatapnya tajam, sebelum akhirnya suster muda itu menghela napas dan tersenyum kecil, lantas meninggalkan kami tanpa mengatakan apa pun lagi.

"Apa?" tanyaku datar ketika sepasang maniknya teralih padaku. Ia kembali menyunggingkan senyumnya.

"Obrolan kita belum selesai, bukan?"

"Kau harus segera kembali," sahutku tak acuh.

"Kemarilah." Ia menarik lenganku, membuatku sedikit tersentak, namun kemudian aku menurutinya. Aku berdiri dari posisiku yang semula duduk dengan nyaman di atas rumput, berdiri tepat di hadapannya, membuatnya yang berposisi lebih rendah karena duduk di kursi roda harus sedikit mendongak demi menatapku.

"Tuhan menyayangimu, kautahu? Dia masih memberimu kesempatan untuk bernapas setelah semua yang terjadi padamu, dan一"

"Jika Dia menyayangiku, Dia tidak akan mengambil kedua orangtuaku dalam kecelakaan itu," potongku, sejenak membuatnya bungkam.

Namun kemudian ia kembali tersenyum, seulas senyum yang membuatku muak ... namun di sisi lain juga selalu membuatku luluh ....

"Kau diberi kesempatan untuk mendoakan mereka, menyelamatkan mereka di sana dengan setiap kata yang kausampaikan pada-Nya. Tidakkah itu sesuatu yang seharusnya kausyukuri?

"Kau dirawat oleh sanak yang menyayangimu, bukankah itu juga hal yang seharusnya kausyukuri?" katanya lagi.

"Kau tidak perlu masuk ke dalam lingkaran itu untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika kau penuh dengan syukur, kau akan berbahagia meski dengan hal sekecil apa pun."

Ahh, mataku sakit. Ada sesuatu yang kurasakan memaksa keluar dan mengalir pelan dari sana. Kakiku ... tak mampu menopang tubuhku. Membuatku jatuh dengan lututku di hadapannya, sementara ia menarikku ke pangkuannya.

Aku ... benar-benar payah. Pemuda ini benar-benar membuatku merasa diriku begitu memalukan sekarang. Dengan semua kalimatnya itu, ia membuatku merasa begitu kecil di hadapannya.

Namun ....

Aku bersyukur ....

Meskipun aku tahu suatu saat ... cepat atau lambat ... ia pun akan pergi dariku ....

Aku bersyukur bertemu dengannya ....

Tuhan ....

Jika kau mendengarku ....

Maukah Kau kabulkan satu keinginanku?

Aku ingin ... dia bahagia.

Bahkan jika Kau tak memberinya waktu yang cukup untuk merasakan hal itu ....

Bisakah Kau bantu aku?

Untuk membawa semua perasaan itu padanya ... sebelum waktunya habis?

END

Catatan penulis.

Ahhahah. Ini klise.-__-
Sepertinya aku kehilangan otakku karena terlalu lama hiatus? Aku mau nulis, tapi aku sama sekali gak punya ide untuk cerita apa yang akan kutulis. Dan ... jadilah ficlet gaje ini.
Lumayan lah, buat pemanasan setelah kembali dari hiatus. Gak ada yang kangen aku nih? :3 (*sudah dibilang gak bakal ada yang ngangenin elu, Cher.)
Okelah, terima kasih sudah membaca.^^

Best regards, Cherry.

Antologi Cerpen CherryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang