Zula’s POV:
Hari ini aku berangkat ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Suhu tubuhku masih sedikit hangat, kepalaku juga masih terasa pening. Tapi, kupaksakan untuk berangkat sekolah. Lagipula, kalau hanya berdiam di rumah, situasinya tidak akan membaik. Aku belum siap membicarakan perihal kepindahan sekolah ke Bandung.
Mulai hari ini, aku harus benar-benar menjaga jarak dengan Davin. Kalau tidak... aku harus kembali ke sekolah itu.
Setelah turun dari angkutan umum, aku melewati gerbang sekolah. Terdengar teriakan seseorang memanggil namaku. “Zulaaaaa!” Aku menoleh, ada Vira yang setengah berlari ke arahku.
“Katanya kemarin kamu sakit, Zu?” Tanya Vira sambil menempelkan tangannya ke keningku.
“Cuma kena gerimis dikit, kok. Kamu tau darimana?”
Vira bergumam. “Ada deh.” Kata Vira sambil memeletkan lidah.
Mataku menelusuri halaman sekolah. Tatapanku terhenti kepada dua orang yang saling tertawa sambil berjalan di koridor sekolah—Felisha dan Marcell. Dua orang yang disebut-sebut perfect couple di sekolah ini. Orang-orang bilang, mereka relationship goals.
Vira menepuk pundakku pelan, “Liatin siapa?”
“Hm, itu. Romeo dan Julietnya sekolah ini.” Kataku sambil terus berjalan.
“Sejak kapan kamu care sama urusan begituan? Oh, kamu miris ya masih banyak siswa di sini yang pacaran? Maklum, sekolah ini bukan sekolah islami. Mungkin pengetahuan mereka tentang haramnya pacaran dalam islam belum sampai.” Timpal Vira.
“Pacaran itu rasanya gimana ya, Vir?” Celetukku tiba-tiba. Sungguh, itu keluar begitu saja dari mulutku.
Vira menghentikan langkahnya, “Kamu kayaknya beneran sakit deh, Zu. Kamu aneh belakangan ini. Mulai dari mogok hafalan, ngebantah aturan Ayah Bunda, dan sekarang... ngebayangin rasanya pacaran itu gimana. Kamu kan tahu sendiri, pac—”
Aku memotong kalimat Vira. “Vir, please... Aku udah cukup bosen dengerin nasihat Bunda sama Ayah di rumah. Aku tau. Aku paham pacaran itu gak ada dalam islam. Aku..,” aku berhenti sejenak, “aku cuma mau nanya, cuma mau didengerin.” Ucapku sambil menatap Vira, yang ditatap diam terpaku. Aku meneruskan langkah ke kelas.
“Zuuu! Ma-maafin Vira!” Teriak Vira sambil mengejar langkahku.
Ah, masabodo. Kadang-kadang Vira itu cerewetnya melebihi Bunda dan nasihatnya menyerupai Ayah. Aku suka kesal sendiri jadinya.
***
Davin’s POV:
Hari ini gatau kenapa gue malas belajar di kelas. Dan karena hari ini gak ada pelajaran penting seperti MTK, fisika, dan sejenisnya gue juga ngerasa biasa aja pas membolos—maksudnya, beristirahat di UKS. Gue udah berbaring dan menghabiskan tidur di sini dari jam pertama pelajaran dengan alasan sakit. Dan sekarang, udah jam keempat pelajaran. Itu artinya, udah sekitar kurang lebih tiga jam gue di sini. Davin memang keren.
“Ini teh hangatnya. Ada yang diperluin lagi gak?”
“Enggak. Makasih ya.” Gue sangat hafal suara ini. Ini suara Zula. Jadi.... dia hari ini sekolah? Dan sekarang ada di ruang UKS ini? Lagi berbaring tepat di sebelah gue?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Jarak [Completed]
Spiritual[BUKU PERTAMA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, akan ada masanya di mana setiap kisah cinta akan menemukan jarak dalam perjalanannya. Catatan: Ditulis ketika belum paham EBI dan teori kepenulisan. Banyak saltik dan ejaan yang belum benar.