XXII: Davin Berpaling

9.7K 790 11
                                    

Zula's POV:

Tatapan mataku terfokus kepada air putih yang ada di hadapanku. Tanganku sibuk mendentingkan sendok ke piring hingga tercipta suara nyaring yang memekakkan telinga. Bunda yang sedari tadi melihat tingkahku angkat bicara. "Berisik, Zu. Bukannya sarapan malah mainin sendok." Aku menarik napas panjang dan meneguk air putih kemudian menyuapkan sesendok nasi ke mulut.

"Ayah senang semalam kamu sudah mulai qiyamul lail lagi." Timpal Ayah sambil melirik ke arahku.

"Dari kemarin-kemarin juga aku udah qiyamul lail. Tapi di kamar. Lagain emang kalo beribadah harus di depan Ayah apa?" Tukasku kesal. Aku juga tak tahu kenapa akhir-akhir ini nada bicaraku kepada Ayah dan Bunda semakin meninggi. Padahal setelah kecelakaanku beberapa waktu yang lalu bisa dikatakan aku sudah damai dengan Ayah dan Bunda. Dan mereka berdua juga ternyata sudah tidak ribut soal kenapa-Ayah-resign-dari-kantor lagi.

Ayah berdehem. "Hafalan masih di Al-Mursalat? Harus cepet-cepet pindah, Zu. Minimal kamu harus hafal lima juz buat masuk sekolah tahfiz di Bandung. Masih ada waktu seminggu lagi sebelum kamu pindah. Lusa kamu bagi rapot, kan?"

Aku menatap Ayah tepat di manik matanya. "Aku tau. Bisa gak usah ingetin berulang kali gak, sih?" Tukasku kesal.

"Davin gimana? Masih deketin kamu?" Tanya Ayah lagi.

"Enggak. Aku bahkan udah gak pernah kontakan sama dia. Ayah puas?!"

Melihat emosiku sudah mulai naik, Bunda angkat bicara. "Zu... harus sopan kalau ngomong sama Ayah."

Ayah hanya tersenyum tipis. "Bagus kalau Davin sudah gak deket-deket kamu lagi. Laki-laki yang ajakin kamu pacaran sudah jelas laki-laki yang gak baik. Pokoknya kalau kamu nanti pilih suami, kaya atau ganteng taruh di nomor kesekian. Yang paling penting, dia soleh. Itu aja udah cukup."

Aku menatap Ayah dan Bunda bergantian. Kemudian mengganti topik pembicaraan. "Udah dua bulan aku nunggak SPP dan bulan ini aku belum bayar les."

"Itu urusan Ayah. Kamu belajar dan sekolah aja yang fokus."

Aku mengangkat badan. "Kenapa Ayah harus resign dari kantor, sih? Kenapa Ayah buat segala sesuatunya jadi lebih sulit? Bukannya aku gak bangga punya Ayah seorang imam sholat dan guru ngaji. Tapi... aku bahkan jadi segan minta uang kebutuhan sekolah ke Ayah." Ah, akhirnya malah aku yang ribut soal kenapa-Ayah-resign-dari-kantor. Aku terdiam sejenak dan menatap Ayah dan Bunda bergantian. "Aku berangkat. Assalamualaikum."

Kemudian, aku bersegera keluar rumah untuk berangkat sekolah.

***

Aku menunggu Vira di depan gerbang sekolah sambil memainkan game yang sudah terinstal di ponselku. Samar-samar, terdengar celotehan tiga perempuan yang lewat. "Iya. Katanya Davin udah putus sama itu tuh... siapa namanya? Zulaikha kalo gak salah." Wow, bahkan aku baru tau kalau di sekolah ini ada yang mengetahui kalau aku pernah pacaran sama Davin. Aku kira, kami berdua benar-benar backstreet.

Tapi tatapan mataku masih terpaku pada layar ponsel. Tidak berminat melihat siapa yang mengucapkan kalimat barusan. Namun, telingaku masih awas dan antusias mendengarkan jawaban dari perempuan yang lainnya. "Hahahaha. Bagus lah kalau emang udah putus. Lagian gak cocok, sih. Davinnya ganteng dan stylenya keren abis. Lah ceweknya, macem ibu-ibu pengajian." Timpal salah seorang diantara mereka disertai seringai tawa.

Tentang Davin: Jarak [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang