XXVIII: Lagi-lagi, Alun-Alun Kota Bandung

11.7K 809 40
                                    

Zula's POV:

Aku memijit keningku berkali-kali. Aku masih bungkam dan merangkum hal-hal yang Bunda ceritakan soal Andrew tadi. Jadi, dua hari yang lalu Andrew sudah kemari dan menyatakan 'lamaran'nya kepada Bunda. Aki, Nini, dan Bunda telah merestui Andrew. Dan sekarang, keputusannya berada di tanganku. Apakah aku mau menerima lamaran itu atau tidak.

Aku mengatur napas berkali-kali. Bagaimana bisa Andrew berani 'melamar'ku langsung kepada Bunda, bahkan Aki dan Nini pun ikut serta. Berarti ucapan Andrew delapan tahun yang lalu itu bukan sekedar main-main. Dia memang serius. Dan dia mencoba merealisasikannya sekarang.

"Jadi, menurut kamu gimana?" tutur Bunda memecahkan kebungkamanku.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Hm, menurut Bunda gimana?" tanyaku balik kepada Bunda.

Bunda mengernyitkan keningnya heran. "Kok malah balik tanya?"

Aku mengangkat bahu. "Abis aku bingung harus jawab apa."

Bunda menarik napas pendek dan mendesis pelan. "Kamu ngerasa gimana sama Andrew?"

Aku merasa gimana sama Andrew? Ya... aku juga tidak tahu. Yang jelas ketika mendengar kabar ini, aku tidak senang dan tidak sedih pula. Ya, biasa saja.

Aku menggelengkan kepala dan menatap Bunda sebentar. "Aku pikir-pikir dulu," kemudian kutarik napas pendek. "Menikah kan perkara yang serius. Dan aku cuma mau menikah sekali seumur hidup. Aku cuma takut menghabiskan waktu sama orang yang salah, Bun."

Bunda mengangguk kecil. "Kamu masih nunggu kehadiran seseorang, ya?"

Aku menatap dalam-dalam ke arah mata Bunda kemudian menggeleng. "Enggak, Bun. Aku cuma... yah, ini bukan hal yang main-main, kan? Maksud aku, keputusan menikah itu gak segampang mengedipkan mata."

Bunda merangkul bahuku. "Iya. Bunda tau. Tapi menurut Bunda-" Bunda melirik tepat di kedua manik mataku. "Andrew bukan orang yang salah."

Aku hanya diam dan di dalam otakku kini ada dua kata yang terpampang jelas perihal lamaran Andrew ini; terima atau tolak.

***

Sebuah kotak berwarna merah yang terletak di atas lemari menyita perhatianku. Aku yang sedari tadi berbaring di tempat tidur sambil memikirkan jawaban soal lamaran Andrew segera bangkit dan mencoba mengambil kotak merah itu.

Karena lemari cukup tinggi, maka aku membutuhkan bantuan dari kursi untuk menopang tubuhku supaya bisa mengambil kotak. Oleh sebab itu, ku tarik kursi yang berada di meja kerja di dalam kamarku dan menyeretnya tepat di depan lemari. Kemudian segera kunaiki kursi itu dan mengambil kotak merah yang ada di atas lemari. Setelah dapat, aku segera turun dan mengembalikan kursi ke posisi semula.

Aku duduk di atas kasur dan mengamati kotak itu lekat-lekat. Kotak itu selalu kubuka sebulan sekali. Entahlah, jika aku rindu Jakarta, aku akan membukanya. Sudah banyak debu yang terkumpul di atasnya. Aku mengambil tisu dari atas meja dan membersihkan debu-debu yang menempel di kotak. Setelah itu, kubuka kotak itu dan di dalamnya ada barang-barang yang kubawa dari Jakarta.

Ada buku-buku novel yang telah tamat kubaca, ada album fotoku bersama Vira (aku memang sempat membuat satu album foto yang isinya penuh dengan fotoku berdua dengan Vira), ada buku musik yang kubuat sendiri (isinya kumpulan chord gitar dan beberapa musisi yang aku sukai), dan tatapanku terpaku pada sebuah jaket berwarna coklat. Aku mengambil jaket itu dan memperhatikannya perlahan.

Tentang Davin: Jarak [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang