Zula’s POV:
Jam sudah menunjukkan pukul 18.15 WIB dan ini sudah lewat maghrib. Untung Ayah dan Bunda sedang ke Bandung. Jadi setidaknya—untuk kali ini tidak ada tambahan hukuman—dan aku aman. Aku segera berjalan menuju rumah dan mengetuk pintu. “Assalamualaikum... Teh Annis, Zula pulang!”
Pintu terbuka.
Dan seketika.
Badanku lemas.
Di depanku berdiri Ayah yang menatap tajam, lurus ke arah mataku. “A-Ayah? Bu-bukannya Ayah ke Bandung?” Tanyaku gugup.
Ayah memutar badannya dan berjalan ke kamar. Ada Bunda juga. Berdiri menatapku dan menunjukkan wajah kecewa. “Sholat. Mandi. Habis isya keruang tamu. Ayah sama Bunda mau bicara sama Zula.” Setelah itu, Bunda menyusul Ayah ke kamar.
B-Bun… bu-bukannya tadi katanya ke Bandung?” Aku tiba-tiba kaya Aziz gagap. Ya ampun, kenapa aku malah kepikirin ke salah satu pemain OVJ itu, sih? Tapi serius, aku benar-benar panik.
Bunda menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik ke arahku. "Kata Nini, Aki udah baikan dan gak perlu disamperin ke Bandung. Jadi, Ayah sama Bunda gak jadi ke sana."
Badanku benar-benar lemas. Di pelupuk mata, ada kumpulan air yang siap tumpah. Aku memejamkan mata, lalu tetesan itu jatuh. Luruh lewat ke pipi. Dan terus jatuh menelusuri hati.
Dan untuk yang kesekian kali, aku menangis lagi.
***
Di hadapanku sekarang ada Ayah dan Bunda. Suasana masih hening. Aku masih menunduk. Tidak siap menerima tatapan Ayah yang begitu memilukan. Hanya dengan tatapan itu, air mataku akan dengan mudahnya terpancing keluar.
“Zulaikha.” Panggil Ayah. Suara berat Ayah biasanya mampu membuatku tenang, tapi... tidak untuk saat ini.
“Tatap Ayah.” Aku masih menunduk. Air mataku sudah luruh sejak tadi. Melihat aku yang masih enggan mengangkat kepala, Ayah berkata lagi, “Jangan nunduk.” Aku masih tetap menunduk.
“Zula!” Kata Ayah setengah berteriak. Aku mengangkat wajah dengan air mata yang sudah tumpah. “Kenapa nangis? Bahkan Ayah belum bilang apa-apa.” Kata Ayah sambil terus menatapku.
“Ma-ma... maafin Zula, Yah...” ujarku parau, bahkan suaraku seperti tikus terjepit. Ya, gak tikus juga, sih. Marmut, mungkin? Oke, aku sedang mencoba menertawai diri sendiri agar tangisku tidak pecah. Ini salah satu bagian dari usahaku.
Aku menatap Ayah, dari sorot matanya, terlihat kalau Ayah benar-benar marah. Lebih tepatnya, kecewa. “Ayah minta maaf.” Kata Ayah lembut. “Mulai sekarang, kamu bisa lakuin apapun yang kamu mau. Gak ada hukuman lagi. Kalau hafalan kamu gak nambah, gak akan Ayah ingetin. Kalau tengah malam kamu gak qiyamul lail, gak akan Ayah bangunin. Bahkan sekalipun kamu pulang magrib begini, diantar sama laki-laki..,” Ayah berhenti sejenak, kemudian meneruskan, “Ayah gak akan marahin kamu lagi. Kamu sudah SMA, Zu. Kamu harus bangun kesadaran kamu sendiri.”
“Ayah kecewa sama kamu, Zu.” Lanjut Ayah dengan suara parau.
Tangisku meledak. Ini berita buruk! Benar-benar buruk!
Terdengar ketukan pintu, “Assalamualaikum!” Sepertinya aku mengenal suara ini. Jangan-jangan...
Bunda membuka pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Jarak [Completed]
Spiritual[BUKU PERTAMA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, akan ada masanya di mana setiap kisah cinta akan menemukan jarak dalam perjalanannya. Catatan: Ditulis ketika belum paham EBI dan teori kepenulisan. Banyak saltik dan ejaan yang belum benar.