Zula's POV:
Itu benar-benar Davin.
Walaupun ada beberapa perubahan dari fisiknya. Tapi sekali lagi, itu benar-benar Davin.
Davin berjalan ke arahku dengan senyum tipis. Dia memperhatikanku sebentar dan pandangannya teralihkan kepada bangku taman yang sedang kududuki. Aku hanya terdiam dan bingung harus berkata apa dan bersikap bagaimana.
Aku mengatur napas berkali-kali dan berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum dan terlihat santai. "Aku boleh duduk?" Tanya Davin sambil memperhatikanku sejenak. Aku hanya mengangguk kecil. Kemudian Davin duduk di bangku taman yang cukup panjang itu, dia menarik dirinya di sisi bangku yang paling pinggir dan menciptakan jarak yang cukup jauh denganku.
Aku mengalihkan pandangan ke rumput-rumput di hadapanku dan mencoba menghindari kontak mata dengan Davin. Ada bungkam yang cukup lama sebelum akhirnya Davin angkat bicara. "Kamu baik-baik aja?"
Aku mendesah pelan dan menarik napas pendek. "Gak ada pertanyaan selain itu, ya?" Tatapanku kini tertuju pada pemandangan Masjid Agung. "Hm, maksudnya... kamu udah tanyain itu pas di telpon. Dan seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja."
Tidak terdengar jawaban apapun dari Davin. Dan aku juga tidak bisa membaca garis wajahnya karena aku tidak melihat wajahnya dari tadi. Ya... jika kulakukan itu, aku tidak akan fokus dan kata-kata yang keluar dari mulutku di jamin berantakan.
Oke. Mungkin Davin menunggu aku menanyakan kabarnya juga. "Kamu gimana?" Tanyaku pelan.
"Aku gak baik-baik aja." Jawabnya singkat.
Dia menjawab: Aku gak baik-baik aja. Yang berarti: Dia kenapa-kenapa. Sekarang, aku jadi penasaran. Apa yang menyebabkan dia tidak baik-baik saja?
Sebelum menanyakan hal itu, Davin meneruskan ucapannya. "Delapan tahun berlalu, dan banyak hal buruk yang terjadi."
Sekarang dia menjawab banyak hal buruk yang terjadi delapan tahun belakangan ini. Tapi apa? Apa hal buruk itu? Aku terdiam dan terus menunggu apa yang dikatakan Davin selanjutnya. Mungkin saja dia akan menceritakan hal buruk yang dimaksud.
"Hm, kesibukan kamu apa sekarang?"
Kesempatanku untuk mengetahui hal buruk itu pupus. Aku menarik napas pendek. "Aku jadi guru."
"Guru?"
"Iya."
"Guru pelajaran apa?"
"Aku guru SLB, Vin." Jawabku singkat sambil melirik Davin. Saat menolehkan pandangan ke arahnya, Davin juga sedang menoleh ke arahku. Jadilah tatapan kami bertemu, dan detak jantungku memburu.
Davin mengangkat sebelah alisnya. "Guru SLB? Pasti kamu ikutan belajar juga ya di sana. Terutama soal kesabaran."
Aku mengangguk tanda setuju. "Kamu sendiri? Maksudnya, apa kesibukan kamu?"
Davin mendesah pelan, kemudian terlihat kerutan kecil di keningnya, semacam memikirkan sesuatu yang sangat penting. "Aku lagi libur kuliah dan baru pulang ke Indonesia. Mungkin beberapa hari ke depan, kesibukan aku bantu-bantu Abi di boarding schoolnya."
Tunggu. Apa tadi katanya? Abi? Boarding school? Jadi sebenarnya Davin ini terlahir di keluarga seperti apa, sih? Aku benar-benar penasaran sekarang. "Sebentar, sejak kapan kamu manggil Papa kamu dengan sebutan... Abi?" Tanyaku karena mengingat kebiasaan Davin ketika dulu bercerita tentang orangtuanya selalu menyebut Papa dan Mama.
Davin mengernyitkan dahinya. Sejurus kemudian, dia mengangguk dan tersenyum kecil. "Oh, kamu inget cerita yang dulu itu, ya?" Davin mendesis pelan. "Cerita itu kan gak seratus persen benar. Kamu juga tau itu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Jarak [Completed]
Duchowe[BUKU PERTAMA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, akan ada masanya di mana setiap kisah cinta akan menemukan jarak dalam perjalanannya. Catatan: Ditulis ketika belum paham EBI dan teori kepenulisan. Banyak saltik dan ejaan yang belum benar.