Zula's POV:
"Awas aja berani main sama laki-laki. Langsung Ayah nikahin."
Tiba-tiba saja kalimat Ayah saat di meja makan kemarin terdengar di sekitaran telingaku dan membuatku tersentak. Gimana kalau Ayah tahu dan langsung nikahin aku. Udah nikah muda, sama si Davin lagi! Enggak banget!
"Hm... kamu naik angkot aja gak bisa, ya?" Tanyaku kepada Davin, yang ditanya malah mengangkat sebelah alisnya.
"Iya. Gak bisa. Gue gak biasa naik-naik angkot gitu. Panas. Rame. Lagian gue gak bakal ngapa-ngapain lo. Takut banget, sih." Katanya dengan nada yang sedikit meninggi.
Aku merogoh saku dan mengeluarkan beberapa pecahan dua ribu. "Nih." Kataku kepada Davin sambil menjulurkan tangan yang sudah mengepal uang.
"Apa-apaan, nih?" Jawabnya. Wajah Davin menunjukkan tanda tanya besar.
"Kamu gak usah bikin-bikin alasan, deh. Gak punya uang buat ngongkos, kan? Pakai alasan gak bisa naik angkot lagi. Gak usah malu kali. Kalau gak punya uang, bilang aja."
Davin tertawa kecil. Tangannya merogoh saku dan mengelurkan dompet. Dikeluarkan uang pecahan seratus ribu yang jumlahnya berlembar-lembar. "Iya. Gue gak punya uang sama sekali." Aku tersentak kaget. Hm... emang, sih. Dari stylenya, sudah terbaca kalau Davin berasal dari keluarga menengah ke atas.
Aku membuka retsleting tas dan merobek kertas, tak lupa mengeluarkan pulpen dari kotak pensil. "Tulisin alamat rumahnya." Kataku sambil menyerahkan kertas itu ke depan Davin.
Davin mengerutkan alisnya lagi. "Gak mau." Katanya sambil melipat tangan. Aku berani taruhan, kalau kalian melihat wajahnya kalian akan mencakar-cakarnya karena Davin mukanya minta digaruk banget!
Melihat responnya yang apatis, aku menuliskan nomer ponselku di kertas itu dan menyerahkannya kepada Davin. "Ini nomer handphone saya. Nanti kamu smsin alamat kamu. Kalau enggak, berarti hari ini kita gak jadi latihan musik. Dan... saya bakalan laporin kamu ke polisi, karena motor saya ada di kamu." Davin menatapku dengan sorot mata bingung.
Aku membalikkan badan tanpa melihat ekspresi Davin. Tapi, terdengar suara deruman motorku. Mendengar suara itu, aku langsung mempercepat langkahku dan berdiri di samping jalan, menunggu angkutan umum. Bukannya apa, Ayah sangat amat melarangku untuk dekat-dekat sama cowok. Apalagi boncengan! Wah, bisa-bisa aku dicuekin setahun.
Setelah memasuki angkutan umum, ponselku bergetar. Satu pesan masuk diterima.
From: +62856xxxxxx
Cafe Upnormal, Jl. Mahardika KM 2. Naik angkot biru-putih, bayar jangan lupa. Turun di lampu merah. Belok kiri, cafenya tepat di samping Distro King&Queen.
Davin Ganteng.
Makasih udah dibilang ganteng. Lo juga cantik, Jul.
Aku rasanya mau muntah ketika baca pesan Davin. Kok ada ya, cowok yang tingkat kepercayaan dirinya meroket tinggi kaya dia? Oke, lupakan.
Sejauh ini petunjuk dari Davin sudah benar, aku sudah menaiki angkot biru-putih. Tapi... cafe? Mana bisa mengerjakan tugas-apalagi mengaransemen lagu di cafe. Suasananya ramai, dan pengunjungnya banyak. Kalau ternyata Davin cuma ngerjain, aku akan langsung pulang ke rumah. Titik.
Lampu merah sudah terlihat dan aku segera turun dari angkot. Sesuai petunjuk Davin, aku belok kiri dan mencari-cari Cafe Upnormal yang dimaksud. Setelah mataku berkeliling menjelajahi tempat, terlihat bangunan berlantai dua dengan tulisan 'Cafe Upnormal'. Aku segera melangkah ke tempat itu dan di area parkir, ada Davin yang masih duduk di jok motorku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Jarak [Completed]
Espiritual[BUKU PERTAMA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, akan ada masanya di mana setiap kisah cinta akan menemukan jarak dalam perjalanannya. Catatan: Ditulis ketika belum paham EBI dan teori kepenulisan. Banyak saltik dan ejaan yang belum benar.