Davin’s POV:
Di SMA ini, gue cuma punya dua teman dekat. Reza, teman sekelas sekaligus teman sebangku gue. Dan Andreas, anak kelas sebelah yang friendly abis dan temannya tercecer dimana-mana, ditambah dia adalah salah satu anak eskul radio sekolah gue. Bisa dibilang, dia cukup terkenal di sekolah.
Dan gue ini yang paling biasa aja. Gue bukan anak basket yang kalau di sinetron-sinetron digandrungi kaum hawa—terlebih anak eskul cheerleader. Gue juga bukan siswa berprestasi yang bawa piala dan mengharumkan nama sekolah. Gue cuma seorang Davin Praditya. Remaja usia enam belas tahun yang sedang dalam masa transisi untuk move on. Move on dari Mama gue maksudnya.
Tapi kalau gue jalan bareng sama kedua teman cowok gue itu, pandangan cewek-cewek langsung gak selow. Entah siapa yang mereka perhatiin. Tapi, gak jarang gue dan kedua teman gue ini jadi pusat perhatian. Apa gue yang kepedean, ya?
Tapi gue suka ngerasa gitu. Contohnya kaya sekarang. Gue lagi duduk di tepi lapangan setelah latihan futsal bareng Reza. Dan pandangan cewek-cewek di sekitar lapangan itu... gimana, ya? Mata mereka ngeliatin gue dan Reza mulu. Gimana gue gak ngerasa jadi pusat perhatian coba?
Tiba-tiba, sosok Raina muncul. Lo tau, kan? Cewek yang kemarin-kemarin ngerelain tempat parkirnya buat Zula.
“Nih, Vin, buat kamu.” Kata Raina sambil menyerahkan sebotol air mineral yang masih dingin.
Gue tersenyum manis. “Thanks ya, Ra.” Jawab gue sambil mengambil minuman itu. Setelah itu Raina ngeluarin sapu tangan dan ngelap keringet yang bercucuran di sekitaran muka gue. Gue cuma tersenyum dan berterimakasih.
Reza yang menyadari hal itu menyikut lengan gue. “Udah jadian lo sama Raina?” Tanyanya sambil berbisik.
Gue mengernyit. “Kaga lah.” Jawab gue pelan.
“Vin, aku hari ini gak bawa motor, bisa anterin pulang gak?” Tanyanya.
Gue cuma mengangguk. “Apasih yang nggak bisa buat kamu.”
Raina tersenyum tipis, “Yaudah aku duluan, ya. See you.” Kemudian ia segera pergi. Reza menatap gue intens. “Yang begitu gak jadian?” Tanyanya.
“Gue cuma temenan sama dia doang. Dia baik banget sama gue. Jadi gue cuma ngerasa harus bales kebaikan dia.” Jawab gue sambil meneguk air mineral lagi.
Reza mengangguk paham. “Tapi hati-hati,” Reza menatap tepat di manik mata gue. “Kadang cewek nganggep sikap baik cowok itu sebagai rasa suka, bukan rasa peduli sesama.”
Gue berusaha memahami kalimat Reza. “Lah suruh siapa dia nganggepnya gitu?” Tanya gue ke Reza. Bisa dibilang Reza ini expert masalah perasaan perempuan. Jiwa keibuannya memang sangat besar.
“Suruh siapa lo tebar pesona? Cewek mana tau kalau lo modusin dia doang. Inget pesen gue, ya. Kalau lo modus sampai nyakitin hati cewek itu sama aja kaya lo nyakitin Ibu lo sendiri.” Reza menatap gue dengan mata elangnya. “Lagian, Raina masih jadian sama si Alfa. Hati-hati aja lo, tuh orang gak kenal batasan. Suka jotos sana-sini.”
Dan karena gue gak tau harus balas apa, gue cuma mengangguk menanggapi omongan Reza. Setelah itu, kita berdua ganti baju dan segera pulang karena waktu sudah mulai sore. Tapi, sepanjang perjalanan ke parkiran. Satu kalimat Reza bercokol di benak gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Jarak [Completed]
Spiritual[BUKU PERTAMA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, akan ada masanya di mana setiap kisah cinta akan menemukan jarak dalam perjalanannya. Catatan: Ditulis ketika belum paham EBI dan teori kepenulisan. Banyak saltik dan ejaan yang belum benar.