XI: UKS

11.2K 847 32
                                    

Davin’s POV:

Hari ini gue berangkat sekolah bareng Reza dan Andreas karena motor Reza lagi di bengkel dan Andreas males nyetir. Setelah Honda Jazz putih gue terparkir manis di halaman sekolah, gue keluar bersama Reza dan Andreas. Gue keluar sambil merapikan seragam, begitu pula dengan kedua teman gue yang lain. Kita bertiga berjalan beriringan dan entah gue yang kepedean atau gimana—cewek-cewek yang ada di sekitar kita langsung memandang gue, Andreas, dan Reza dengan mata berbinar. Salahkan Andreas yang punya muka ganteng menyaingi Justin Bieber dan Reza dengan senyuman mautnya yang bikin cewek meleleh. Sedangkan gue, ya… gue biasa aja, sih. Gue udah pernah bilang kan kalau gue ini yang paling biasa aja diantara kita bertiga?

Pas mau jalan beberapa langkah dari mobil, ada Alfa dan kedua temannya yang berjalan ke arah gue. Muka Alfa gak selow. Tatapannya tajam. Dan gue yakin tanduknya sebentar lagi keluar. Dia berjalan ke arah gue dan langsung mencengkram kerah gue. “Gak usah songong lo jadi adik kelas!” kata dia berteriak macem ibu-ibu yang jatah arisannya di puter ke orang lain.

Gue masih menunjukkan muka selow. Andreas sama Reza menatap bingung ke arah gue dengan penuh tanda tanya. Sementara kedua temen Alfa menyeringai kecil. Sumpah, mukanya minta di jotos banget. “Terus, kalau gue jadi kakak kelas kaya lo gue boleh songong, dong?” balas gue menimpali ucapan Alfa. Gue masih kalem, bahkan kedua tangan gue masih gue taruh di saku celana dan gue masih menunjukkan senyuman kecil.

Peraturan Davin nomor #1: Harus tetap terlihat ganteng, bahkan di situasi genting sekalipun.

Muka Alfa langsung merah padam. “Gara-gara lo gue putus sama Raina!” kata dia berteriak dan dalam hitungan dua detik setelahnya tangan dia mendarat mulus di pipi kanan gue. Sakit, man! Andreas dan Reza mau ikut gabung tapi gue langsung mengeluarkan suara. “Jangan ikutan, Dre, Rez. Ini urusan gue sama Alfa.” Gue mengusap pipi kanan gue, dan baru saja Alfa mau mukul gue lagi, tangannya sudah gue tangkis duluan. Oke. Gue beneran emosi sekarang. Gue memutar badan Alfa dan mendorongnya ke mobil orang—gak tau mobil siapa. Dengan satu gerakan singkat, gue melepaskan cengkraman Alfa dengan menggelitiki perutnya—engga deng. Gue melepaskan begitu aja, orang cengkraman Alfa juga gak kenceng-kenceng amat, kok. Sekarang gentian gue yang mencengkram kerah dia. Baru saja gue mau mendaratkan bogeman kecil di pipi Alfa—tapi jiwa gue menolak melakukan hal itu.

Peraturan Davin nomor #2: Gak boleh mukul orang. Pejantan tanggung berkelahi pakai otak, bukan otot!

Akhirnya gue menepuk pelan pipi Alfa. “Lo putus bukan gara-gara gue. Tapi gara-gara lo sendiri. Suruh siapa punya pacar dianggurin.” Mendengar itu, Alfa langsung geram. Dia mendaratkan pukulan lagi di pipi kiri gue. “Semuanya gara-gara lo, bangsomat!” (aslinya kata kata som-nya hilang).

Gue mengelus sudut bibir gue yang ternyata sudah berdarah. Kampret banget nih, si Alfa! Gue daritadi udah nahan gak mukul dia, dianya malah gak tau diri. Akhirnya, satu pukulan gue mendarat di sudut kiri bibir Alfa, dan darah cair keluar dari sana.

Peraturan Davin nomor #3: Lupakan soal ‘Gak boleh mukul orang. Pejantan tanggung berkelahi pakai otak, bukan otot!’ kalau lawannya udah gak tahu diri kaya Alfa gini, balas aja. Sakit, Bro!

Gue menyeringai. “Iya. Semuanya gara-gara gue yang kelewat ganteng dan perhatian sama Raina. Gara-gara gue juga yang lebih dari lo. Makanya Raina bosen sama lo dan dia akhirnya deket sama gue.” Wow, apakah gue terlalu percaya diri? Ya, ya, ya. (bacanya jangan kaya tayangan video di Ini Talkshow, ya). “Semuanya emang gara-gara gue, Alfamart!” Tutur gue sambil menjauhi Alfa.

Tentang Davin: Jarak [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang