XXVII: Melamar Zula

10.8K 752 19
                                    

Zula's POV:

Tanganku masih sibuk membentuk adonan kue. Mataku masih awas memperhatikan gerak Bunda yang selalu sigap jika di dapur. Sedangkan pikiranku masih terpatri pada hal-hal yang terjadi belakangan ini. Kehadiran Andrew yang menurutku sangat tiba-tiba, dan... kabar Davin yang sampai saat ini belum terdengar juga ke telingaku.

Bunda menghentikan aktivitas mengaduk adonan kuenya sejenak, kemudian mencuci tangan dan duduk sebentar di kursi yang tersedia di dapur kecil kami. Dia mengatur napasnya pelan-pelan dan menyeka peluh keringatnya.

Aku masih melanjutkan membentuk adonan kue menjadi bulatan-bulatan kecil. "Lagi mikir sesuatu, ya?" Tanya Bunda.

Aku mendongakkan kepala untuk menatap Bunda dan menggeleng lemah. "Enggak. Emang kelihatan lagi mikirin sesuatu ya, Bun?"

Bunda tersenyum. "Dari dulu kamu itu gak bisa bohong dan nyimpen rahasia. Itu di kening kamu jelas banget kalau kamu pikirannya bukan di sini."

Aku langsung menutupi keningku dengan telapak tangan sebelah kanan. Melihat itu, Bunda hanya tertawa kecil. "Gak mau cerita sama Bunda?"

Aku menimbang-nimbang sejenak apakah aku tanyakan masalah itu lagi kepada Bunda atau tidak. Tapi, pasti jawaban Bunda sama seperti kemarin dan hal itu yang nantinya membuatku semakin dilanda rasa penasaran.

Tapi... apa salahnya tanya sekali lagi? Siapa tahu jawaban Bunda akan berubah.

"Hmm.. itu, Bun. Soal Andrew," tukasku pelan. "Soal dia yang ke sini dua hari yang lalu. Dia-"

"Kamu masih penasaran soal itu? Kan Bunda udah bilang dia cuma mau pamit karena beberapa hari lagi dia akan balik ke Jakarta."

"Iya iya aku tahu. Udah aku duga jawaban Bunda pasti sama. Tapi aku cuma mau-"

"Kamu suka sama Andrew, ya?" Tanya Bunda akhirnya setelah memotong-motong kalimat yang belum selesai kuucapkan. Aku hanya mendengus kesal dan menghindari tatapan Bunda.

Siapa juga yang suka sama Andrew?

"Kamu udah dewasa lho, Zu. Udah selesai kuliah dan sekarang udah punya pekerjaan juga." Bunda diam sejak. Aku kembali menatap Bunda sambil memicingkan mata.

Ah, aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Pasti...

"Belum kepikiran untuk menikah?" lanjut Bunda.

Tuh kan, pasti akan disinggung-singgung soal menikah lagi.

Aku memperhatikan Bunda sejenak dan menyudahi acara membentuk kue. Kulangkahkan kaki menuju Bunda dan duduk di sebelahnya. "Kalau aku menikah, Bunda udah siap aku tinggal?"

Bunda hanya tersenyum tipis. "Kamu kan masih bisa main-main nanti ke sini. Lagian, Bunda gak akan sendirian. Kan ada Nini sama Aki."

Aku melayangkan pandangan ke seluruh sudut-sudut dapur kemudian menarik napas pendek. Pembicaraan soal menikah ini bukan yang pertama kalinya. Sejak aku lulus kuliah, Bunda selalu menyinggung-nyinggung soal pernikahan dan keinginannya untuk segera menimang cucu.

Waktu itu, sempat ada dua laki-laki yang mendatangi Bunda dan meminta restunya untuk menikahiku. Tapi, saat itu aku masih kuliah dan aku juga tidak ingin menikah sebelum menyelesaikan pendidikan di universitas. Namun sekarang, aku sudah lulus kuliah dan bahkan sudah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru. Wacana dan pertanyaan soal 'kapan menikah?' kembali lagi terdengar.

Tentang Davin: Jarak [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang