XIII: Siapa Aca?

10.8K 834 18
                                    

Zula’s POV:


“Zu, maaf banget ya aku gak bisa pulang sama kamu, aku langsung dijemput Papa dan mau langsung ke rumah sakit. Mamaku masih dirawat.” Kata Vira ketika kita berdua sudah ada di gerbang sekolah.

Aku hanya mengangguk. “Gapapa, Vir. Salam sama Mama kamu, ya.”

“Maaf juga kalau… kemarin aku marah sama kamu.” Vira berujar lirih sambil menatapku.

“Gapapa, kok. Aku tau kamu kaya gitu karena care sama aku.”

“Terus, kamu sama Davin gimana?”

Aku mengernyit. “Gimana apaanya?” tanyaku heran.
“Itu…” Vira tergagu. “Davin kayaknya suka sama kamu. Tadi aja dia di kelas nanyiin lagu buat kamu gitu.” Aku masih diam dan Vira memandangku intens. “Kamu suka sama dia juga?”

“Enggak lah. Gak mungkin aku suka sama dia.” Sergahku cepat. Vira mengangguk dan tersenyum kecil. “Yaudah, aku duluan ya, Zu.” Katanya kemudian dia berjalan keluar gerbang.

Aku pun melanjutkan perjalananku untuk menunggu angkutan umum. Ketika sedang menunggu di pinggir jalan, sebuah Honda Jazz putih berhenti di depanku. Kaca mobil terbuka dan di sana terlihat Davin. “Belum pulang, Zu?” tanyanya kepadaku.

Aku hanya diam dan malas menanggapi. “Angkot lagi demo, kalau lo nunggu pasti bakal sampai maghrib. Bareng gue aja gimana?” aku memalingkan pandanganku ke arah lain. “Gue… janji ini yang terakhir dan setelah ini gue gak akan ganggu lo lagi.”

Melihat responku yang masih bungkam, Davin mengangguk pasrah. “I’m sorry for all my annoying habits. Take care, Zu.” Ucapnya kemudian menutup kaca dan menyalakan mobilnya kembali.

Aku menghela napas pasrah. Ketika melihat mobil Davin yang pergi, aku merasa edikit sesak—aku sendiri tidak tahu apa sebabnya. Aku benci Davin dan aku sudah mengikrarkan itu sejak kemarin. Tapi setelah melihat dia tadi, rasanya aku tidak benar-benar membenci Davin.

Baru saja aku ingin meminta jemput Bunda, motor matik berhenti di depanku. Aku mengernyit dan melihat siswi yang seragamnya sama denganku itu tersenyum ramah. “Masih nunggu angkot?” tanyanya kepadaku.

“Iya, kamu… siapa, ya?”

“Oh, aku Aca. Anak kelas 10-IPA-C. Kamu Zula, ya? Anak kelas 10-IPA-B?” Aku mengangguk. Kemudian dia tersenyum lagi. “Rumah Zula dimana?”

“Hm… di deket Jalan Cendrawasih.”

“Wah, rumah Aca juga di deket sana. Mau bareng? Denger-denger hari ini ada demo dan kalau Zula nunggu angkot, pasti sampai maghrib.”

Aku berpikir sejenak. “Gak ngerepotin?” tanyaku kepada Aca.

“Enggak, kok. Ayo naik.” Aku mengangguk dan segera naik motor Aca.

Demi apapun, aku berterimakasih karena ada orang sebaik Aca.

***

“Makasih ya, Ca.” kataku kepada Aca ketika baru turun dari motornya. Aca tersenyum dan mengangguk. “Maaf kalau jadinya ngerepotin.”

“Gapapa, kok. Yaudah, Aca pulang ya, Zu.” Aku hanya mengangguk sebagai balasan. Aca melajukan motornya dan segera berlalu. Sedangkan aku berjalan memasuki rumah. Ketika sampai di ruang tamu, di sana ada Ayah dan Bunda.

“Tumben pulangnya sama perempuan.” Sindir Ayah kepadaku. Aku hanya terdiam. “Kamu memang harus jaga jarak sama yang namanya Davin itu, karena kalau enggak—”

“Aku akan pindah ke Bandung. Aku tau, Yah. Gak usah ingetin aku terus.” Aku memotong kalimat Ayah sambil terus berjalan ke kamar. Aku hanya lelah menghadapi ucapan Ayah. Apakah Ayah tidak tau kalau aku juga sedang berusaha keras menjauhi Davin? Kenapa Ayah tidak pernah mencoba memposisikan dirinya menjadi aku? Kenapa yang Ayah lakukan hanya mengaturku? Kenapa Ayah selalu menganggap aku salah?

Tentang Davin: Jarak [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang