XXIII: Kembali Ke Bandung

9.8K 783 14
                                    

Zula's POV:

Orang-orang yang mengiringi kepergian Ayah telah kembali ke rumahnya. Suasana pemakaman juga mulai sepi. Dan aku masih memeluk erat batu nisan bertuliskan nama Zulfikar Rasyidin itu. Itu adalah nama Ayah. Ayah yang baru kemarin pagi mengingatkan hafalan kepadaku. Ayah yang selama ini menerapkan peraturan konyol untuk kebaikanku. Ayah yang selalu berkata bahwa aku adalah kebanggannya.

Air mataku terus mengalir dan hatiku terasa tak ditempatnya. Seperti ada bagian yang hilang. Perasaan sakit. Jauh lebih sakit ketika saat itu Davin pergi dan berpaling kepada Raina. Hatiku benar-benar patah-atau mungkin hancur menjadi kepingan kecil yang sulit disatukan kembali.

Bunda yang dengan pandainya menyembunyikan isak tangsinya itu mengelus pelan pundakku tanpa berucap apa-apa. Aku yakin, bibir bunda bahkan kelu dan kaku untuk sekedar mengucapkan namaku.

Otakku memutar kembali saat-saat terakhirku bersama Ayah. Akhir-akhir ini, aku sering membantah Ayah, puncaknya; soal Davin, soal aku yang berani berpacaran. Aku juga sering berteriak dan meninggikan suaraku di depan Ayah. Bahkan tadi pagi aku belum sempat mengucapkan salam dan mencium punggung tangan Ayah.

Aku bahkan belum sempat meminta maaf atas apa yang terjadi belakangan ini dan berkata menyesal atas semuanya.

Kini, ayah telah pergi selamanya.

Selamanya.

Berkali-kali kata itu memutar dalam otakku. 'selamanya.' Bagaimana bisa Ayah-yang sangat sehat dan bersih dari riwayat penyakit itu secepat ini pergi meninggalkanku? Kejadiannya begitu cepat. Bunda hanya berkata bahwa Ayah pergi mengendarai sepeda motor menuju masjid yang mengadakan tabligh akbar dan Ayah akan menjadi salah satu pembicaranya. Kemudian sepeda motornya terpeleset karena jalanan licin akibat hujan dan dibawa ke rumah sakit. Kemudian... Ayah menghembuskan nafas terakhirnya setelah sepuluh menit memasuki UGD.

Terpeleset karena jalanan licin. Karena hujan.
Aku juga pernah jatuh dari motor karena terpeleset jalanan licin. Tapi... aku masih ada di sini sekarang. Aku hampir tertabrak mobil beberapa minggu yang lalu. Tapi, aku juga masih selamat hingga sekarang. Aku bahkan pernah hujan-hujanan. Tapi, tidak terjadi apapun terhadapku.

Tiba-tiba saja, aku benci hujan.

Hujan yang membuat Ayah pergi. Kalau saja tidak turun hujan. Maka jalanan tidak akan licin. Dan Ayah akan pergi dan kembali dengan selamat.

Ayah menghembuskan nafas terakhirnya setelah seluluh menit memasuki UGD.

Aku pernah memasuki rumah sakit dan ditangani dengan baik disana. Bahkan dirawat hingga beberapa hari dan aku baik-baik saja. Tapi, apa yang terjadi kepada Ayah membuatku membenci rumah sakit dan profesi dokter. Mungkin dokter yang menangani Ayah kurang handal dan berkompeten. Atau karena kami bukan berasal dari keluarga yang kaya maka pelayanan terhadap Ayah buruk.

Kemudian, aku membenci status keluargaku yang sangat sederhana. Kalau saja Allah sedikit lebih adil terhadapku. Pastinya segala hal akan baik-baik aja.

Hari ini, untuk pertama kalinya; aku beranggapan bahwa Allah memang tidak adil.

"Ini sudah qadha-Nya Allah, Zu. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Dan kali ini adalah giliran Ayah pergi." Kata Bunda akhirnya setelah membungkam cukup lama.

Tentang Davin: Jarak [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang