BAGIAN I
. : - - - - - - - - - - - - : .Di pagi hari yang tenang, sebelum matahari muncul dari persembunyianya, di tengah padang rumput yang cukup luas, aku - Budi Pratama - berbaring menunggu langit menjadi biru cerah. Hari ini adalah hari liburku, biasanya aku harus membantu ibuku berkebun dan kegiatan sehari-harinya. Sebenarnya umurku sudah 22 tahun, hal seperti ini tidaklah aneh karena di desa kami, desa Landax sangat lah damai, mungkin karena desa kami terlalu damai dan memiliki sistem bertanam yang baik, jadi aku pun tidak perlu terlalu pusing untuk persediaan makanan. Banyak hal yang aku pikirkan. Tak terasa langit pun mulai berubah dari merah gelap menjadi biru muda.
"Hey Bud, jadwalnya liburkah?"
Aku pun menengok ke arah sumber suara, ternyata Kiki.
"Yo, hari ini libur, bukannya sekarang jadwal kamu bertani?"
Kiki menjawab sambil menghela nafas.
"Betul, tapi aku disuruh untuk mencari atau membeli bibit tanaman."
Aku hanya mengangguk saja. Beginilah sehari-hari di desa kami. Tidak ada yang spesial, bahagia? Mungkin. Semenjak kami disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari, tidak ada yang banyak tahu tentang masyarakat diluar sana. Hanya beberapa orang yang diperbolehkan keluar masuk desa. Termasuk Ayahku. Aku tidak pernah melihatnya, karena kata ibu aku baru lahir, dia keluar desa, dan tak lama mendapatkan penyakit yang cepat membunuhnya. Yah, disini pula yang membuat aku penasaran, sebahaya itukah di luar desa sana?
"Hei kau tidak menengok Sofi? Katanya dia sakit."
"Eh? Sejak kapan? Hem, kita jenguk yuk."
Kiki yang duduk di pinggirku mulai tiduran sepertiku dan menjawab.
"Nah, kau saja. Kalau Ayahku melihatnya bisa jadi masalah."
Hahaha, benar juga. Aku pun mulai berdiri dan sambil membersihkan diri aku menjawabnya.
"Lah? Jadi kau mau menyamar disini? Disini kan rumputnya tidak tinggi."
"Kalau rambutku merah gelap sepertimu, akupun tidak akan bersembunyi disini. Lagian aku membawa jubah, hehe."
Benar juga, karena padang disini hijau cerah, mudah menemukanku bila cahaya matahari sudah ada di langit. Aku beranjak pergi ke rumah Sofi. Rumah Sofi tidak jauh dari padang rumput tadi. Ketika sampai dirumahnya aku mulai membuka pintu dan menyapa orang yang berada di dalam rumah.
"Permisi, apa Sofi di rumah?"
"Ah Budi, masuk-masuk. Kamu pasti mau jenguk ya?"
Yang menjawab sapaanku adalah ibu Sofi, Keluargaku dan Sofi sudah dekat seperti keluarga sendiri, tidak hanya dengan keluarganya, bisa dibilang dengan keluarga yang memiliki anak yang seumuran dengan ku di desa ini juga.
"Ah, maafkan bibi, kau dan ibumu selalu berkerja dari pagi hingga sore, jadi aku lupa menyampaikanya kepada kalian."
"Tidak apa-apa, bibi juga kan pasti merawat Sofi."
Ibu Sofi hanya tersenyum, lalu berjalan ke kamar Sofi dan mulai menaruh sarapan di meja yang terletak di pinggir tempat tidurnya.
"Sofi, bangun, waktunya sarapan dan ada teman disini menjengukmu".
Sofi terbangun mendengar panggilan ibunya. Sofi duduk dan mengusap mukanya.
"Hei, selamat pagi."
"...."
Sofi meluruskan alisnya dan cemberut. Ibunya pun beranjak pergi sambil tersenyum. Ketika aku melihat ke arah Sofi lagi dia sudah menarik selimut dan tiduran kembali.
"Hey hey, sahabatmu ini pagi-pagi datang menjengukmu."
Dengan nada sedikit emosi Sofi menjawab.
"Telat, pergi sana."
"Ampun, apa aku perlu menyuapi mu?"
"Kau bukan Kiki!"
"Haha, ayolah setidaknya kau habiskan sarapan yang ibumu buat."
Dengan tatapan yang tajam tapi menggembungkan pipinya, membuat dia terlihat lucu. Dengan rambut lurusnya yang hitam dan panjang, membuat dia terlihat dewasa, tapi tetap saja sifatnya kekanakan. Kiki sangat beruntung, gadis cantik seperti Sofi menyukainya sejak kecil. Hah, untuk sekarang aku hanya berfikir akan mendapatkan yang lebih baik dari Kiki. Optimis tidak salahnya kan? Yang benar supaya aku tidak iri, mengingat umurku yang sudah dewasa tapi belum ada satupun gadis yang tertarik denganku, atau aku hanya tidak mengetahuinya? Biarlah, nanti juga datang waktunya. Kami pun berbincang-bincang banyak hal. Dari keadaan dirinya, keluaga kami hingga pekerjaan.
Setelah dari rumah Sofi aku mulai berkeliling desa, oiya desa ku di batasi oleh tebing bebatuan, di sisi barat ada jalan keluar masuk desa. Tapi di sebalah timur oleh tebing curam yang langsung menuju lautan. Ketika aku berada di tepian jurang, aku hanya melihat laut yang membentang, perahu pun tidak ada yang pernah lewat selama aku hidup disini. Itu tidak heran karena banyak karang tajam dengan ombak yang kuat.
Setiap saat aku libur begini, pertanyaan itu selalu datang. Pertanyaan yang dari sejak kecil yang belum terpecahkan. Kenapa desa ini susah sekali di akses? Dan para tetua disini pun seperti menyembunyikan sesuatu kepada desanya. Tapi aku ingat perkataan ibuku sejak kecil, setiap aku bertanya tentang hal seperti ini.
---
"Kamu tidak perlu memikirkan itu sekarang, yang penting sekarang bantu kebun ini berkembang sehingga kau bisa bermain dengan yang lain."
"Sampai kapan?"
Dengan senyum yang menyejukkan dan mengelus kepalaku dia menjawab.
"Mungkin ketika kamu umur 30?"---
Haah, sembari mengingat itu dan merasakan angin laut membuat pikiran tenang kembali.
"Hey Bud, jadwalnya liburkah?"
Eh? Bukanya itu pertanyaan si Kiki tadi pagi? Ketika aku menengok kebalakang, Ah ternyata kakaknya, Ika.
"Bermalas-malasan di siang hari walau libur itu tidak baik Bud."
Wajah yang cantik, rambut yang pendek dan tubuh yang tinggi, di tambah sedikit berotot, membuat terlihat seperti wanita yang kuat. Pasti dia pekerja keras.
"Hey, Bud? Jangan bilang kau tertarik denganku."
Eh?? Apa dia sadar aku mengamati tubuhnya?
"Ah, eng..g..ga. lagian aku disini sedang menenangkan diri."
Aku mencoba melihat ke arah yang berlawanan. Bohong kalau laki-laki tidak tertarik kepadanya.
"Hahaha, laki-laki seumuran kamu gampang di jahili ya. Oiya kamu lihat si Kiki? Itu anak belum kembali dari pagi."
"Hemm tadi pagi sekali itu anak ada di padang rumput."
"Eh? Wah parah, pasti tidur di gua sekitar situ."
Ika langsung beranjak pergi, tapi ketika cukup jauh dia berbicara lantang hingga terdengar suaranya.
"Hey Budi! Kau juga dicari oleh Tetua! Kau disuruh segera pulang kerumah. Tetua meminta bantuanmu!"
Aku hanya menacungkan jempol tinggi-tinggi agar dia tahu aku mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Stone : Wanderer Stone
AventuraAlternative title : Batu Cahaya : Batu Pengelana -CERITA INI JADI DRAFT, jd nulisnya berantakan. Terkendala ksibukkan n blocking. Mohon maaf s besar"nya- ~(Rincianya update terus)~ Kisah ini menceritakan bagian hidup perjalanan Budi Pratama. Sebuah...