Tak terasa, batas waktu Rizal sudah terpenuhi. Di pagi yang cerah ini semua terasa lambat, jauh-jauh hari dia mengingatkan, Semua warga desa hampir berkumpul semua, Rizal menyampaikan pesan-pesanya untuk desa ini. Setelah selesai dengan warga, Rizal menghampiriku. Pasti ini berhubungan dengan janji itu.
“Hei Bud, bukanya kamu mau ikut denganku? Tapi perjalanan denganku jauh lebih berat dari latihan loh.”
“Well, kamu sudah memperingatkanku berkali-kali bang. Aku ingin ikut tapi aku masih ingin disini dulu, berat rasanya meninggalkan apa yang aku sayang.”
“Siapa Sofi?”
Dengan muka mengejek dia menjawabnya.
“Hah?? Ngomong apa kamu bang? Ngawurnya makin jadi aja.”
“Hahaha, masih saja. Apapun itu, pastikan kau jaga baik-baik. Aku tidak bisa berlama-lama lagi disini. Aku kawatir juga terhadap mereka. Semoga mereka baik-baik saja.”
“Semoga, jadi bagaimana caranya untuk bertemu kembali nanti?”
“Hemm…”
Rizal memasang wajah berfikirnya lagi.
“Bagaimana kalau kita bertemu di alun-alun Dexati?”
“Dexati? Oh kota yang berada di sebelah barat itu ya?”
“Betul, dan hanya sebulan.”
“Mencari lagi ke kota lain?”
“Iyah. Walau mereka kuat tapi tanah ini sangat luas bukan?”
Aku hanya terdiam, rencanaku itu aku berlatih lagi selama 4 bulan, agar fisikku bisa lebih mendekati kekuatan Rizal. Tapi sepertinya tidak mungkin.
“Bagaimana, setuju?”
Sambil mengulurkan tangan dia menanyakanku.
“Baiklah, beberapa hari lagi aku akan menyusulmu, tapi janji kau akan melatihku lagi ya?”
“Hahaha, itu sudah pasti.”
Tangan kami pun bersalaman, ketika itu pula Rizal pamit kepadaku, ibuku dan Tetua. Dia berjalanan menuju gerbang yang baru-baru ini selesai dibuat, walau masih sederhana namun cukup kokoh, ketika gerbang itu di tutup, ketika itu pula sosok Rizal menghilang. Dan aku harus menemukanya dalam waktu sebulan, dia bilang Dexati itu 10x luas desa ini, dan padat penduduk, apa bisa aku menemukannya? Apa disana mudah mencari informasi ya? Padahal dia bilang di Dexati tidak begitu ramah dengan pendatang. Bukannya Rizal juga pendatang?
“Hei Bud, tidak jadi ikut?”
Suara itu menyadarkanku, ketika aku lihat, oh Sofi.
“Bukan begitu Sofi, aku hanya ingin beberapa hari disini dulu. Yaa mungkin 3 atau 4 hari.”
“Tetap berangkat? Yah sayang sekali.”
“Kenapa? Kesepian? Kan ada Kiki.”
“Ugh… Tapi kan itu udah beda.”
“Eh?”
Aku hanya bisa memasang wajah penasaran.
“maksud ku, kalau keluar sana... bukanya berbahaya? Banyak peperangan, kejahata--”
“Tenang saja, aku kan sudah berlatih.”
“Tapi kapan kau kembali?!”
Heh? Tumben nada marah? Apa? Kenapa berkaca matanya?
“Kita sudah mengenal sejak lama… dan sebenarnya aku—“
Aku menepuk kepalanya, aku tau apa yang akan dikatakannya.
“Simpan perasaan mu itu, bukanya aku tidak tertarik, tapi ini lebih baik. Karena aku tidak tahu kapan kembali.”
Semenjak kejadian itu, Sofi melihatku dengan cara yang lain, aku sadar hal itu, tapi aku sudah bertekad untuk keluar dari desa, apa aku menyakitinya? Meninggalkanya sendiri? Sahabat dari kecil, lebih baik Kiki saja yang menjaganya. Ibu dan Rizal juga sih yang memberi tahuku, maklum, aku tidak peka dengan urusan seperti ini.
“Lalu bagaimana dengan ibumu?!”
Akhirnya, tumpah juga airmatanya.
“Sudah aku bicarakan juga. Dia cuma minta satu pesan.”
“Apa?”
“beri dia cucu sebelum aku meninggal.”
Aku menjawab sambil tersenyum, permintaan yang menggelikan. Semoga saja tertawa... Eh? Kok malah semakin nunduk? Baiklah, aku coba peluk saja, semoga dia menjadi tenang.
“Sudah Sofi, semoga kau lebih bahagia dengan Kiki.”
Setelah itu, dia pergi tanpa meninggalkan kata-kata. Tapi terlihat jelas dia sangat kecewa.
“Yakin kau tidak menginginkanya?”
Kiki mulai mendekatiku, apa dia tadi melihat yang tadi?
“Ini lebih baik ki, dia menyukaimu sejak lama, baru kali-kali ini saja dia melihatku.”
“Eh? Bukanya dia menyukaimu?”
“Hah? Jelas – jelas dia bilang kepadaku, kamu orang yang selama ini dia suka.”
“Eeehhh?! Aku kira dia melihat mu terus karena kalian begitu akrab!”
Aku hanya bisa meluruskan alisku, ternyata ada yang lebih parah dariku yah.
“Yang pasti, tolong titip desa ini, terutama—“
“Ibumu? Tenang saja, kamu bisa andalkan aku!”
Benar-benar sahabat yang bisa diandalkan, aku pun memeluknya, dia pun membalasnya. Karena kita tau, mungkin ini bisa jadi pertemuan yang terakhir. Mengingat aku yang akan berpetualang dengan Rizal.
3 hari aku lalui dengan mempersiapkan diri dan perbekalan, ketika aku berpamitan berangkatpun teman desaku hampir datang semua, tapi aku tidak melihat sofi, yah tidak selamanya perbuatan baik di anggap baik bukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Light Stone : Wanderer Stone
MaceraAlternative title : Batu Cahaya : Batu Pengelana -CERITA INI JADI DRAFT, jd nulisnya berantakan. Terkendala ksibukkan n blocking. Mohon maaf s besar"nya- ~(Rincianya update terus)~ Kisah ini menceritakan bagian hidup perjalanan Budi Pratama. Sebuah...