Resto, 19.20 wib
Aku masih merapikan sarung dan kulipat lalu kusimpan di rak yang ada di mushola resto. Dan ketika aku hendak keluar, kulihat Ucup masih membereskan piring kotor di saung. Hari ini dia terlihat pucat sekali. Dan dari gerakannya yang tak seperti biasanya, dia kelihatan sangat lesu. Kayaknya dia kurang tidur dan sudah mulai nampak tanda-tanda orang mau sakit. Lalu kuhampiri dia untuk membantunya.
"Cup, gua bantuin ya." kataku sambil ikut merapikan piring-piring kotor dan memasukannya ke baskom trolley.
Dia hanya tersenyum kuyu. Kulihat ada lingkatan hitam di sekitar matanya yang menandakan dia kurang tidur. Jam kerja sampai tengah malam pun sudah sangat menyita waktu istirahatnya, ditambah kang bara yang sering membangunkannya kalau yang lain sudah tidur.
"Udah, lo duduk aja. Biar gua yang nyimpen ke tempat cuci." Kataku lalu mendorongnya ke tempat cuci dan langsung ku taruh baskomnya. Aku segera menuju ke tempat jus dan kubuatkan lemon tea hangat.
Aku menuju ke arah saungnya sambil membawa teh manisnya.
"Di minum dulu tehnya Cup." Kataku sambil menyerahkan gelasnya.
Dia memandangku lalu mengambilnya dan dengan ragu meminumnya sambil terus menatapku. kutatap dia yang tampak lesu.
"Ada yang mau lo ceritain Cup?" tanyaku dengan nada hampir mendesak.
Dia hanya diam. Dia seperti ragu ketika akan mengatakan sesuatau.
"Masalah Kang Bara gua udah tau Cup."
Dia tampak kaget mendengarnya lalu tertunduk. Dia memainkan jari-jarinya, mungkin dan pasti itu tandanya perasaannya berkecamuk.
"Gua liat waktu gua nginep disini. Tapi lo gak usah malu. Gua justru mau nolongin lo."
Dia masih saja diam tanpa berani menatapku.
"Gua emang gak ngalamin apa yang lo alamin Cup, tapi gua berusaha ngerasain apa yang sekarang lo rasain. Dan gua pasti itu gak sama. Tapi gua cuma pengen lo cerita ke gua. Mungkin dengan itu perasaan lo agak sedikit lega."
Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Lalu dia menatapku dan aku mencoba tersenyum menenangkannya. Ku anggukan kepala dan air matanya jatuh di sudut matanya. Kupegang pundaknya dan dia mulai bercerita.
Katanya dulu ketika ayahnya meninggal sewaktu dia masih duduk di bangku SMP, kehidupannya langsung ambruk. Ibunya yang hanya ibu rumah tangga dan berdagang gorengan keliling tak mampu menghidupi enam anaknya. Jangankan untuk menyekolahkannya sampai tamat SMP, untuk makanpun kondisinya sangat susah.
Dia memutuskan untuk merantau. Dia pernah kerja di Bandung, bahkan Jakarta. Tapi nasib belum berpihak juga padanya. Di perantauan dia perlakukan dengan tidak semestinya. Klasik memang. Kisah yang dialami oleh hampir semua anak kampung yang dikhianati zaman. Aku hanya diam mendengarkan.
"Lalu, gimana lo bisa sampai kesini?"
Dia terdiam sesaat. Lalu tersenyum getir.
"Dulu waktu saya masih kerja di Bandung, saya teh ketemu sama rombongan orang yang sedang belanja. Saya sebagai pelayan toko ya berusaha melayani dengan baik. Dan besoknya teh salah seorang dari rombongan itu teh kembali lagi dan pura-pura belanja. Dia membisikkan sama saya, kalau dia mau ngasih kerjaan di sini. Karena disini teh lebih deket sama rumah, ya udah, saya teh mau."
"Dia itu...kang Bara?"
Dia hanya mengangguk. Dia lantas menceritakan bagaimana rayuan yang disertai ancaman kang Bara waktu pertama kali kang bara melakukannya. Aku beberapa kali menahan nafas waktu dia menceritaka penderitaannya. Sesekali dia melap mata dan hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Monkey
Fiksi Remaja"Aku bakal inget saat ini. Aku dan kamu menanam pohon ini. Aku janji aku bakal rawat pohon cinta ini. Aku bakal datang kesini kalo sempet. Gak bakal aku biarin rumput-rumput mengganggu pohon ini karena pohon cinta ini adalah saksi kalo aku sayang sa...