Bodoh. Aku telah mempertahankan pemikiran dangkalku hingga membuatku terjebak dalam sebuah situasi yang sangat tidak menguntungkan. Sekarang lihatlah akibatnya, aku bahkan seperti tidak memiliki tenaga untuk membuka mata. Semalam aku gagal menemukan Sonata ataupun Lunesta di lemari obat kamar mandi Justin. Hanya menemukan beberapa advil, obat batuk dan P3K. Aku merasa begitu lemah. Kepalaku terasa pening. Tidur hanya dua jam membuat jiwaku seakan melayang entah kemana dan membiarkan ragaku limbung. Ini sangat menyebalkan. Apalagi mendapati Justin yang duduk di dapur sambil memainkan senjata apinya sepagi ini. Itu membuat pagiku semakin terasa buruk. Ditambah lagi, dia berkali-kali mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Meskipun ku akui aroma rokoknya tidak membuatku sesak – malahan aku menyukai aromanya – tapi itu tetap saja menjengkelkan ketika melihat pria merokok. Jujur saja, aku tidak suka pria perokok. Menurutku itu simbol dari kebrutalan.
Ku balikkan omelet ke dua yang ku masak pagi ini. Justin memang tidak menyuruhku untuk membuat sarapan. Tapi ku pikir karena untuk saat ini aku merupakan satu-satunya wanita di rumah ini, maka aku merasa memiliki tanggung jawab tersebut. Lagi pula tidak ada sulitnya membuat omelet.
Aku memaksakan mataku terbuka lebar saat aku kembali menguap. Padahal aku sudah mandi beberapa menit yang lalu, tepat setelah Justin menyelesaikan mandinya. Tapi air dingin yang mengguyur seluruh tubuhku sama sekali tidak membantuku membangkitkan semangat yang ku butuhkan. Sialan. Ini adalah pagi terburuk yang pernah ku dapatkan. Bahkan lebih buruk dari pada mendapati Lottie bercinta dengan Pete di sofa baruku ataupun tidak mendapati koran pagi dan susu di depan pintu apartemen.
Aku selesai dengan omeletku. Kompor ku matikan. Kemudian memindahkan omelet ke atas piring. Mengambil satu cangkir untuk membuat kopi untuk diriku sendiri. Aku melihat di depan Justin sudah ada satu cangkir kopi, jadi aku tidak akan repot-repot menawarinya.
"Bisakah kau menyingkirkan benda itu sebentar. Dia sangat mengganggu." Aku berucap sambil memandang ngeri pada senjata api yang ada di tangannya saat aku meletakkan dua piring omelet di atas meja.
Justin mengalihkan pandang padaku. Dia menatapku sebentar kemudian meletakkan kain lap sekaligus senjatanya di atas meja. Pilihan yang bijaksana. Dia harus sadar bahwa dia tidak sedang sendiri di rumah ini. Tangannya beralih menarik satu piring yang baru saja ku letakkan di dekatnya. Aku berbalik ke konter untuk mengambil cangkir kopiku dan kembali lagi ke meja.
"Apa kau tidak tidur? Kau terlihat kacau." Justin bertanya ketika aku duduk di sampingnya.
"Aku tidak menemukan pil tidur di kamar mandimu." Jawabku lesu kemudian mulai menyantap sarapanku dengan enggan.
"Ada di lemari yang berada di atas kompor." Dia menjawab dengan santai sambil mengunyah telurnya. Bagaimana mungkin pil tidur bertempat menjadi satu dengan sendok dan pisau? Itu gila dan tidak terorganisi. "Kenapa kau tidak bertanya padaku?"
"Ku rasa kau bukan tipe pria yang suka diganggu saat tidur." Kenyataannya adalah semua orang tidak pernah menyukai gangguan di setiap tidur mereka. Termasuk diriku.
Justin mengangkat alis acuh sambil sedikit menyeringai. "Memang benar. Kau akan mendapatkan singa lapar ketika melakukan itu padaku."
"Mengerikan."
Lalu kami diam setelahnya. Menyelesaikan sarapan kita dalam keheningan. Aku berusaha dengan keras untuk menelan sisa sarapanku. Mataku terasa berat, begitu pula dengan tubuhku. Jangan bilang aku akan sakit. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk membiarkan virus mengacaukan tubuhku. Aku akan meminum vitamin setelah ini. Hanya itulah yang ku butuhkan untuk pencegahan.
Setelah sarapan, seperti yang sudah dijanjikan, Justin mengantarkanku pulang. Waktu menunjukkan pukul tujuh empat puluh lima ketika kami meninggalkan rumahnya. Rencananya adalah aku akan pulang untuk mengambil beberapa barang yang ku perlukan kemudian pergi ke kantor untuk menyerahkan surat ijin cutiku pada Sasha. Memberikannya langsung kepada Marks bukanlah pilihan, sebab itu adalah pantangan yang keras untukku. Aku selalu melakukan usaha pencegahan untuk bertemu pria buaya macam dirinya. Marks seperti memiliki sejuta cara untuk menahanku dan membuatku benar-benar jengkel dengan kelakuannya.