Aku terus menangis di pelukan Justin dan mencoba mempercayai ucapannya, namun sulit. Tubuhku tenggelam di dalam hangat tubuhnya yang selalu ku sukai. Semua yang baru saja terjadi sangatlah menakutkan. Aku tidak ingin itu terjadi lagi. Aku tidak ingin Justin berada dalam bahaya. Menempatkan nyawanya dalam ancaman setiap detik yang dilaluinya. Itu sudah menyiksaku, apalagi harus melihat dirinya berada dalam kesulitan maupun saat dia terluka. Seperti aku juga merasakan apa yang ia rasakan. Ini menyakitiku sebanyak ini menyakititi dirinya. Aku sungguh berharap bahwa misi gila tadi adalah kali terakhir dia melakukan hal semacam itu. Balapan mungkin akan terdengar jauh lebih baik dari pada semua omong kosong ini. Setidaknya tidak harus ada tembak-tembakkan maupun ledakan. Aku tidak perlu khawatir jika di tempat itu terdapat banyak wanita-wanita penggoda yang jauh lebih seksi juga cantik dariku. Karena aku percaya, Justin tidak akan bisa memandang mereka melalui diriku.
Tangan Justin mendorong bahuku perlahan untuk menjauh. Mataku masih memanas. Bahkan sesenggukan itu masih ku keluarkan dari mulutku. Betapa cengengnya diriku. Dia mengamatiku dengan penyesalan. Tangannya membelai dahiku yang sudah penuh keringat. Percampuran antara keringat panas dari rasa lelahku yang sebenarnya dan keringat dingin dari rasa ketakutanku. Sentuhannya memiliki berjuta arti untukku. Sentuhannya kali ini mengantarkan kesedihannya kepadaku. Aku tidak tahu pastinya. Namun ku pikir, dia memiliki perasaan buruk mengenai apa yang baru saja kami alami. Terutama mengenai dia dan aku.
Kemudian kedua tangannya menangkup dua sisi wajahku secara bersamaan. Aku meringis ketika merasakan nyeri pada tulang pipi sebelah kananku yang terasa menyengat akibat sentunhannya. Menyatukan pandanganku dengan miliknya, matanya meredup. Membuatku tahu bahwa dia menyalahkan dirinya atas apa yang menimpaku. Lalu jarinya mengusap lembut sudut bibirku. Perih. Aku memandangnya. Ada darah di jarinya. Oh. Aku bahkan tidak tahu bahwa bibirku mengelurkan darah. Kemudian, pandanganku kembali ke wajahnya.
"Annie, maafkan aku." Katanya sendu.
Aku tidak ingin dia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpaku. Karena aku sadar, akulah yang memilih untuk ikut bersamanya. Hanya saja, aku tidak ingin kejadian gila tadi kembali terulang. Sekali lagi aku meraih tubuhnya dan memeluknya. Kali ini tanpa sesenggukan dari tangis sialanku.
"Aku tidak ingin kegilaan ini kembali terjadi." Ungkapku jujur padanya.
Dia memeluk tubuhku begitu erat, kemudian dia terdiam untuk waktu yang lama. Tidak tahu apa dia akan menerimanya atau tidak. Mungkin memang benar bahaya dan kekejaman ini telah menjalar di setiap nadi tubuhnya. Tapi semua itu membuatku takut. Dia hebat. Aku tahu itu. Masalahnya adalah diriku tidak bisa ditempatkan pada sesuatu yang membuatnya riskan terlibat bahaya. Jika dia berada di dalam bahaya, aku tidak bisa bertahan untuk berpura-pura mencoba tegar. Dia tidaklah sempurna.
Tangannya membelai rambutku. Masih belum menjawab pertanyaanku. Mungkin dia melihat ini seperti sebuah perjanjian dan komitmen baginya. Namun, ini sudah keputusanku. Aku akan mencoba untuk mencegahnya masuk ke dalam pintu bahaya semacam ini lagi. Aku ingin dia selalu aman.
"Aku akan mencoba." Bisiknya lirih di samping telingaku. Dan aku percaya, dia memang akan mencoba. Selanjutnya, dia kembali melepaskan tubuhku. Mengecup perlahan tulang pipiku yang memar, dilanjutkan sudut bibirku dan tersenyum. "Kita harus kembali." Katanya melanjutkan.
Aku mengangguk dalam diam. Memberikan pistolku padanya, dia menyimpan benda tersebut di balik bajunya. Ku harap aku tidak harus menggunakan benda berbahaya itu lagi. Satu benda yang sudah menghilangkan dua nyawa. Sungguh mengerikan ketika mengingat bahwa aku telah membunuh dua orang pria. Itu seperti bukan diriku.
Kemudian tangan Justin meraih tanganku dan kami berbalik. Namun dengan segera aku menghentikan langkahku saat melihat lima mayat yang berserakan di sini. Apa kita akan meninggalkan mereka begitu saja di tempat ini?