Chapter 13

1.3K 90 0
                                    

Aku menghabiskan waktu lebih banyak dari biasanya hanya untuk berada di kamar mandi. Berada di bawah shower dan menenggelamkan diriku pada air hangat yang mengguyur tubuhku. Ku pikir aku sudah melakukan ini lebih dari lima belas menit. Emmm.... mungkin juga lebih. Aku tak tahu pastinya. Buku jariku sudah mulai mengkerut dan memutih. Aku juga kedinginan. Memang seharusnya aku segera pergi. Tapi aku masih saja bertahan di bawah air dan meratapi nasib.

Mungkin memang aku tadi bersikap sedikit berlebihan pada Justin. Aku memang sedikit memaksanya dan sekarang aku baru menyadarinya. Meskipun demikian, aku masih menaruh harapan dia akan menceritakan apa yang ku butuhkan. Aku masih ingin dia terbuka kepadaku. Ya. Kami memang baru saja mengenal. Tapi hubunganku dengannya yang singkat ini seperti membuatku sudah sangat lama mengenalnya. Seperti kami sudah menjalaninya dari dulu.

Apa Justin pergi?

Kemungkinan besar iya. Aku yakin dia muak dengan sikapku yang memang sedikit egois. Aku sudah bertingkah seperti wanita brengsek kepadanya. Ada perasaan dalam diriku yang menyuruhku untuk menyesali perbuatanku. Tapi sebagian darinya tetap bersikukuh bahwa aku telah melakukan suatu yang benar. Seharusnya aku mendengarkan Lottie.

Lagi-lagi bulu kudukku meremang. Sial. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Siapa orang gila yang mau berlama-lama di bawah guyuran air pada waktu yang hampir menunjukkan tengah malam.

Tuhan. Ini sungguh malam yang panjang.

Aku memutuskan untuk menyudahi penyiksaan terhadap tubuhku. Mengambil jubah mandi dan mengenakannya kemudian keluar dari kamar mandi. Langkahku terhenti di tengah pintu saat melihat sosok Justin. Dia duduk di tepi ranjangku yang sederhana. Menunduk memandang lantai dan terlihat sedang berfikir. Begitu tenang dan damai. Tapi kemudian kepalanya mendongak dan matanya terarah langsung kepadaku.

Nafasku tertahan untuk beberapa saat. Garakannya yang tiba-tiba membuatku terkejut. Kemudian aku mencoba menormalkan perasaanku dan membuang keterkejutan yang beberapa saat lalu menghampiriku.

"Ku pikir kau sudah pergi." Kataku. Mencoba untuk bersikap tenang. Aku melangkah dengan perlahan dan menghampiri lemari. Menghindari kontak langsung dengannya, sehingga kami tidak perlu lagi berdebat.

"Pizza-nya sudah datang, dan mungkin sudah dingin sekarang." Bodoh. Siapa yang memperdulikan pizza sialan itu. Dia mencoba melakukan hal sama seperti yang ku lakukan terhadapnya. Mencoba mengabaikan kecanggungan yang tercipta diantara kami. Setidaknya aku bisa melihat dia mencoba.

Aku membuka pintu lemari dan mencari pakaian untuk ku kenakan. "Ya, ku harap masih bisa dimakan." Ujarku sekenanya. Aku menarik sebuah kaos, celana training dan pakaian dalam dari dalam lemari.

"Kau lapar?"

Setelah perdebatan kami?

"Tidak." Lalu aku berjalan kembali ke kamar mandi dan mengenakan pakaianku.

Aku tahu apa yang sedang Justin lakukan. Dia hanya ingin mengulur waktu dan membuatku melupakan apa yang terjadi. Tapi itu tidak semudah yang ia fikirkan.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku tidak mendapatkan dirinya di dalam kamarku. Mungkin sekarang dia sudah benar-benar pergi. Aku mendengus kemudian berjalan menuju meja. Mengambil sisir dan mulai menyisir rambut basahku. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Mencari tahu apa Justin benar-benar meninggalkanku atau tidak.

Dan mengejutkan saat melihat dia masih di sini. Berada di ruang tengah sambil memandang ke arah TV yang menyala. Sebuah pertandingan baseball. Aku tidak tahu bahwa dia suka pada olah raga tersebut. Oh. Ku pikir aku memang tidak begitu mengenalnya. Kecuali betapa gila hidup yang ia miliki.

Do Not Compare (by Aulia Delova)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang