Huft. Seperti ini lagi. Kenapa Justin suka sekali menggantungkanku? Ini sudah empat hari kami tidak bertemu sejak pertemuan terakhir kami Sabtu malam lalu. Boro-boro bertemu, berkomunikasi saja tidak. Aku tidak tahu apa maksud Justin melakukan ini semua kepadaku. Tapi, semua ini terlihat seperti hubungan kami tidak penting baginya. Dia suka sekali lari dariku setelah dia mendapatkan sebuah permasalahan. Itu sudah seperti hobby baginya. Sebuah hobby yang tidak dapat menyatu denganku. Membuatku sangat sulit untuk menerimanya sekaligus memahami dirinya.
Aku tahu aku belum memiliki tiga kata sakral itu untuknya. Meskipun demikian, aku sungguh-sungguh dengan hubungan ini. Aku mencoba dengan keras untuk bisa bersamanya, mengedepankannya dan selalu mendukungnya. Aku harap kami memiliki sebuah harapan. Dalam umurku saat ini, aku sudah tidak pantas untuk bermain-main dengan sebuah hubungan. Aku bukan lagi seorang remaja, begitupun dirinya. Tapi aku tidak tahu dengan apa yang Justin fikirkan mengenai hubungan ini. Dia memperlihatkan kepedulian itu padaku. Meskipun demikian, aku masih belum bisa tahu apa dia mengharapkan 'lebih' dalam hubungan ini. Bahkan aku tidak tahu apa dia benar-benar serius dengan semua ini atau ini hanya sebuah permainan untuknya.
Aku belajar dengan keras mengenai kehidupan Justin, termasuk masalah yang ada dalam hidupnya. Dan pertemuan kami dengan ibunya di rumah keluarga Justin memang sangat gila. Sampai saat ini, aku masih mempertanyakan mengapa Justin membawaku ke rumah ibunya jika dia tidak akur dengannya? Ku pikir itu sangat janggal. Aku ingin menanyakan hal tersebut, namun dia belum menghubungiku sama sekali. Aku ingin mengunjunginya, hanya saja aku tidak memiliki waktu untuk melakukannya. Pekerjaanku tentu saja tidak bisa ditinggalkan. Apalagi rumah Justin jauh dari tempatku berada saat ini.
Telefon di mejaku berdering. Membuatku terlonjak dan bangun dari lamunanku. Sial. Aku melamun lagi di saat jam kerja. Biasanya itu merupakan pantangan bagiku. Tapi Justin benar-benar telah mengacaukanku.
Aku mengangkat telefon tersebut sebelum dering ketiga berbunyi.
"Annika Mentle." Sapaku.
"Annie, bisakah kau mengambilkan berkas di lobby bawah. Aku ada meeting dadakan dalam lima menit. Kita mendapatkan kiriman beberapa artikel untuk edisi minggu depan dari Fordham University Lincoln Center yang harus segera dikerjakan. Aku tidak tahu kemana perginya semua staff bodoh itu. Aku sudah menyuruh untuk segera mengantarkannya ke kantorku tapi sampai saat ini mereka belum juga sampai."
Aku mendengarkan dengan jenuh perintah Jeff yang panjang lebar tersebut.
"Oke, aku akan mengambilnya." Memangnya apa lagi yang bisa ku katakan. Pangkat Jeff lebih tinggi dariku. Meskipun dia temanku, tapi aku harus tetap profesional.
"Thanks Annie." Dia menghela nafas di seberang sana. "Kredibilitas di perusahaan ini sungguh payah." Ia melanjutkan kemudian sambungan terputus begitu saja.
Baiklah Annie. Lupakan sejenak masalah Justin dan mari berkerja. Jangan kacaukan hari ini seperti hari-hari sebelumnya dengan pemikiran mengenai pria-mu itu.
Aku menutup map merah muda berisikan kumpulan artikel yang baru saja selesai ku kerjakan, kemudian bangkit dari kursiku. Tidak masalah jika hanya ke lobby dan mengambil berkas yang dimaksud Jeff. Lagi pula, pekerjaanku sedang tidak banyak. Itulah yang membuatku sering memikirkan Justin akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin dia meninggalkanku begitu saja tanpa sebuah kabarpun selama empat hari?
Hampir saja aku melangkah ketika telefon di mejaku kembali berdering. Aku mengambil ganggangnya dan menempatkannya di sisi wajahku.
"Annika."
"Hei Annie. Ku harap aku tidak mengganggu pekerjaanmu."
Aku membulatkan mata. Suara di seberang benar-benar familiar untukku. Itu adalah suara Nicola. Meskipun dari sambungan telefon suaranya sedikit berbeda, namun aku benar-benar yakin bahwa itu memang dirinya.