Aku tidak pernah keberatan untuk melakukan hal ekstrim yang seperti tadi karena aku memiliki alasan yang pasti untuk melakukannya. Meskipun terbilang gila, tapi tak dapat ku pungkiri bahwa tadi itu sungguh menarik. Lagi pula semuanya sudah terjadi, apalagi yang harus disesalkan? Aku masih hidup dan aku masih bisa memandang dunia. Itulah yang terpenting untuk saat ini. Walaupun begitu, rasa terkejut itu masih saja ada di dalam diriku. Jantungku masih berpacu dengan cepat di dalam tubuhku. Padahal mobil berjalan dengan kecepatan normal di salah satu ruas jalan kota New York.
Kemudian aku merasakan kepalaku yang semakin lama semakin terasa pening. Berat dan begitu sakit. Beberapa kali mengerjapkan mata dan berusaha menghilangkan kepeningan itu, tapi tidak berhasil. Lalu, mendadak aku seperti hampir tidak dapat menemukan oksigen untuk ku hirup. Aku mencoba untuk bernafas. Tapi sungguh sulit mengantarkan oksigen itu ke paru-paru-ku. Sial. Tidak malam ini ku mohon.
Tubuhku kedinginan, meskipun Justin tidak menyalakan AC mobilnya. Seharusnya aku tadi tetap memakai mantelku. Malam ini terlalu dingin untuk keluar, tapi aku lupa dengan betapa rentannya tubuhku ini. Apa yang sebenarnya tadi sedang ku fikirkan? Mencoba untuk menyaingi setiap wanita sexy di sana? Betapa bodohnya diriku.
Tuhan. Ku mohon jangan sekarang.
Aku menggigit kuat-kuat bibir bawahku hingga terasa sakit sambil mencoba untuk tetap bernafas menggunakan hidungku. Tapi itu benar-benar sialan sulit. Seperti tidak ada lagi pasokan oksigen di sekelilingku. Semuanya sirna. Tubuhku mulai menggigil perlahan. Aku menjatuhkan semua uang yang ada di tanganku tanpa ku sadari.
"Sialan. Annie, kau baik-baik saja?" Aku mendengar kekhawatiran dari suara Justin. Untuk selanjutnya mobil mendadak berhenti dengan disertai suara decitan roda yang memekikkan telinga. Aku memandang ke arahnya. Dia melepaskan sabuk pengaman dari tubuhku dan meraih tubuhku. "Bicaralah padaku." Desaknya. Aku memandang ke dalam matanya dan dia benar-benar khawatir mengenai diriku.
Ayolah Annie. Kau tidak secengeng dan selemah ini.
Aku mencoba tersenyum. "Ku pikir aku terlalu lama kedinginan." Suaraku bergetar kecil.
Aku mendengar umpatan kasar keluar dari mulut Justin. Kemudian pria itu dengan cepat melepaskan jaketnya dan membungkuskannya pada tubuhku. Berkali-kali dia mengepaskannya di tubuhku dan memastikan bahwa semua bagian tubuhku sudah tertutupi dengan benar.
"Kemarilah." Dia meraih tanganku. Menarikku dengan pelan dan membantuku berpindah dari kursiku dan duduk di pangkuannya di kursi kemudi. Dapatkah dia mengemudi dengan aku berada di pangkuannya seperti ini? atau mungkin dia berencana untuk berhenti sebentar sambil menunggu kesahatanku pulih?
Tapi aku tak peduli pilihan mana yang benar. Aku meringkuk di pangkuannya. Memejamkan mata untuk mencoba menghilangkan kedinginan dalam diriku dan rasa pening dari kepalaku, serta mencoba untuk kembali bernafas. Justin meraih wajahku dan menghadapkanku padanya. Aku membuka mata. Rasanya membuka matapun terasa begitu berat.
"Ku mohon katakan tidak ada yang serius." Rasa khawatir itu masih saja setia menemani mata madu indah tersebut.
Aku tersenyum untuk meredakan kekhawatirannya. Dia terlalu khawatir padaku. "Aku hanya perlu merasa hangat." Jawabku. Itu memang benar. Semuanya akan kembali normal jika aku merasa hangat kembali juga sedikit beristirahat. Selalu seperti itu. Justin mengangguk dan kemudian dia memberikan sebuah kecupan di dahiku
. Aku merasa tidak terlalu nyaman dengan posisi kakiku yang menggantung di depan dashboard. Aku sedikit merangkak di tubuhnya dan menempatkan kepalaku di bahunya kemudian kembali meringkuk di depan tubuhnya. Itu membuatku mendapatkan kenyamanan yang ku cari.