Sulit ku percaya bahwa hanya dengan nama 'cinta', seseorang rela menukarkan nyawanya. Aku memang bukan hanya sekali menjumpai presepsi tersebut. Namun sampai saat kini, aku masih belum bisa menyakininya. Tidak. Itu bukan karena aku tidak mempercayai keagungan cinta, melain karena aku belum pernah merasakan yang seperti itu sebelumnya. Menukarkan nyawaku untuk seseorang yang bahkan tidak memiliki hubungan darah denganku. Itu sangat mengharukan ketika mengetahui bahwa hal tersebut memang terjadi. Tidak peduli di dunia nyata atau hanya sebatas gambar berjalan di layar televisi. Bagiku, itu semacam motivasi untuk mempertahankan sesuatu yang begitu luar biasa di dalam hati. Sungguh perasaan yang sangat dalam.
Untuk kesekian kalinya aku mengambil tisu dari dalam kotak dan menyapukannya di bawah mataku. Sekarang bukan kecelakaan yang menimpa Samantha dan membuatnya meninggalkan dunia ini atau melihat Ian menangis bersama Lottie yang membuatku mengeluarkan air mata. Namun, ketika Ian menggantikan posisi Samantha dan wanita itu menangis bersama Lottie-lah yang membuatku begitu bersedih. Pengorbanan cinta yang diberikan Ian kepada Samantha merupakan hal yang luar biasa. Menurutku itu berkah. Aku tahu itu hanya sekedar film. Tapi akting Jennifer Love Hewitt dan Paul Nicholls telah berhasil membuatku benar-benar merasakan semua perjuangan yang mereka lakukan. Dan itu sungguh memilukan.
Film ini tidak pernah membuatku merasa bosan meskipun aku telah menontonnya berulang kali setelah aku membeli DVD-nya dua tahun yang lalu. Melalui film ini aku dapat mengetahui pengorbanan dalam cinta. Tidak semua orang dapat melakukannya. Itulah yang membuat 'If Only' begitu berkesan. Setidaknya untukku. Kemudian itu membuatku bertanya-tanya apakah aku akan bisa melakukan hal semacam itu untuk seseorang yang suatu saat nanti ku cintai? Atau mungkin sebaliknya. Seseorang akan berkorban untukku atas nama cinta. Namun aku sama sekali tidak berharap akan ada perpisahan setelahnya.
Jadi apakah ada seseorang yang akan melakukan segalanya untukku? Justin?
Sial. Aku melakukannya lagi. Ku lemparkan tisu kusut yang setengah basah oleh air mata ke atas meja. Tidak lagi. Berhenti memikirkannya. Aku benci ketika diriku memikirkan pria itu walaupun hanya sedetik. Selain berhasil membuatku lemah hanya dengan membayangkan wajahnya, dia juga membuatku merasa kecil hanya dengan mengingat namanya. Semua perasaan itu membuatku begitu tersiksa. Aku mencoba dengan keras untuk menyingkirkannya, namun aku hanya menghasilkan nol persen dalam usahaku tersebut. Sangat jauh dari yang ku harapkan.
Cukup. Aku tidak menolak penawaran Lottie dan Pete hanya untuk menangisi kemalangan nasibku. Sekarang aku sadar, perasaanku pada Justin bertepuk sebelah tangan. Dan aku juga sadar bahwa sebaiknya aku lekas membuang perasaan itu sebelum dia menyakitiku lebih dalam lagi. Ya. Itu adalah pilihan terbaik bagiku.
Tanganku meraih selimut yang berada di pangkuanku dan menyingkapnya. Kemudian mematikan DVD Player dan Televisi. Setelahnya aku mulai membereskan semua kekacauan di ruang tengah sebagai pengalihan akan fikiranku kepada Justin. Mengambil beberapa bungkus Cheetos dan Lays di lantai serta kertas-kertas tisu di atas meja kemudian membuangnya ke tempat sampah. Kembali lagi ke ruang tengah untuk mengambil botol coca-cola dan membawanya ke dapur.
Aku tidak menyesal telah menolak ajakan Lottie dan Pete untuk menonton Stone Sour. Aku memiliki waktu yang tidak buruk malam ini. Aku menonton film dan memakan Nandos di ruang tengah tanpa ada yang mengganggu. Waktu yang lumayan menyenangkan dan hanya sedikit waktu bagi Justin untuk masuk ke dalam kepalaku. Inilah yang ku butuhkan. Pengalihan dan waktu untuk diriku sendiri. Seharusnya aku menyadarinya jauh-jauh hari.
Dering handphone-ku terdengar dari ruang tengah ketika aku sedang mencuci piring bekas Nandos yang tadi ku makan. Segera aku bergegas meninggalkan piringku dan berjalan kembali ke ruang tengah. Blackberry itu berkedip dan bergetar di atas meja, kemudian aku meraihnya.