Chapter 14

1.4K 85 0
                                    

Ketika malam berlalu dan pagi telah menjelang. Aku merasa hampa. Justin pergi. Meninggalkanku terbangun sendiri di kasurku. Dia meninggalkanku. Bagaimana dia melakukannya setelah apa yang terjadi tadi malam? Apa dia sedang mempermainkanku?

Sial.

Ku pikir aku baru saja akan kembali meratapi nasib dan hampir menjatuhkan air mata. Kemudian aku mendapati sebuah kertas di meja. Sebuah pesan singkat darinya. Mengatakan bahwa dia harus pulang dan memeriksa beberapa hal untuk sesuatu. Dia tidak menjelaskan apapun mengenai 'hal' maupun 'sesuatu' tersebut. Lalu ada sebuah tambahan di bawah namanya.

p.s datanglah berkunjung kapanpun. Nic mengharapkannya.

Senyumku mengembang. Setidaknya dia tidak meninggalkanku dalam keadaan yang menggantung. Dan apa itu tadi? Datang ke tempatnya? Lagi? Setelah apa yang sudah kami miliki? Tentu aku akan dengan senang hati melakukannya. Meskipun aku merasa kecewa dengan cara dia meninggalkanku seperti ini, namun aku mencoba mengerti. Dia memiliki sesuatu yang berbeda dariku dan aku akan mencoba tidak membandingkannya dengan yang ku miliki.

Aku bergerak. Menyibak gorden kamar dan memandang trotoar yang selalu ramai. Orang-orang sama sekali tidak peduli bahwa awan mendung sedang bergantungan di atas sana dan meneror mereka dengan dinginnya udara atau air yang awan itu bawa. Semua berjalan seperti Senin pertama di awal September. Sibuk dan ramai.

Aku tersenyum. Sungguh pagi yang indah. Setidaknya untukku.

Terdengar bunyi 'bip' dari telefon di atas meja. Aku menoleh padanya kemudian sebuah pesan suara diterimanya.

'Aku tidak peduli apa dia masih di sana atau tidak. Pete ada urusan dan aku tidak ingin hanya menggigiti kukuku di kasurnya. Aku akan pulang.'

Begitu katanya.

Maka pulanglah Lottie.

Setelahnya aku berangkat mandi. Bersenandung riang sambil melakukannya. Lalu menyiapkan sarapan untuk diriku dan Lottie. Dia akan terkejut ketika tahu aku melakukannya. Hari ini bukan aku yang seharusnya memasak, melainkan dirinya. Tapi hei .... kenapa aku harus peduli. Kami hidup bersama sudah sangat lama. Kami saling bertukar barang-barang pribadi kami. Dan kami adalah dua diantara wanita pekerja di New York yang sama sekali tak peduli pada pandangan orang lain mengenai hidup kami.

Dua piring burrito dengan tambahan potongan bawang spesial dan daging di dalamnya, satu gelas teh hangat tanpa gula, satu gelas cokelat panas, dua gelas air putih, dua buah roti perancis, pisang dan dua buah lap. Sempurna.

Tidak berapa lama kemudian terdengar pintu depan di buka. Aku melongok. Lottie berjalan melintasi ruang tengah. Melemparkan Gucci-nya ke sofa, melepaskan topi rajut juga mantelnya kemudian berjalan menghampiriku.

"Wow, seseorang sedang dalam mood yang baik pagi ini." Ucapnya memandang semua yang ada di atas meja.

"Selamat pagi juga untukmu."

Dia memandangku. Tersenyum lalu memeluk tubuhku. "Aku senang melihatmu kembali." Katanya kemudian.

Aku tersenyum dalam diam kepadanya. Seandainya Lottie mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Bahwa aku merasa lebih baik dari itu. Aku merasa lebih hidup dari biasanya.

Lalu tubuhnya menjauh dan dia memandangku. "Jadi mari kita habisi semua ini." Dia menarik kursi untuknya sendiri.

Aku melangkah dan menempatkan diriku di depannya. "Ku pikir kau sedang berdiet."

Lottie mengambil gelas tehnya dan menyeruputnya pelan. Lalu matanya beralih padaku. "Ya." Katanya mengangguk. "Tapi siapa peduli. Semua orang akan meneteskan air liur mereka setelah melihat apa yang tersedia di sini."

Do Not Compare (by Aulia Delova)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang