Chapter 20

1.4K 76 0
                                    

Justin sudah memutuskan bahwa dia menerima tawaran kerja sama yang diberikan Idone kepadanya. Ini sungguh pekerjaan yang beresiko. Namun dia menegaskan kepadaku, bahwa ini bukan hanya sekedar balas dendam atau semacamnya. Melainkan ini tentang loyalitas yang harus ia berikan kepada keluarganya. Justin merasa dia perlu untuk membawa semuanya membaik. Nama keluarganya harus dibenahi dan yang terpenting adalah dia perlu memastikan bahwa kekejaman Anatoly berakhir. Justin dapat memastikan bahwa dia bukanlah satu-satunya orang yang menjadi korban kekejaman pria tersebut. Idone memberikannya kesempatan untuk melakukan apa yang ia butuhkan. Jadi, dia memutuskan untuk tidak menyia-nyiakannya. Tapi dia dengan keras melarangku untuk tidak ikut campur dengan semua omong kosong itu. Dia berdalil bahwa itu akan sangat berbahaya untukku. Dan kalian tahu apa? Siapa yang peduli dengan larangannya?

Pada hari Selasa siang, seharusnya aku memiliki meeting lunch bersama Jeff, Sasha dan bos srigalaku. Benar. Sayangnya pria tua mengjengkelkan itu masih bernafas hingga saat ini. Tapi aku terpaksa ijin karena kepalaku terus saja terasa pusing dan mataku juga berkunang-kunang. Seakan-akan dunia di bawahku berputar. Ini bukan yang pertama terjadi. Kemarin aku juga merasa pusing. Hanya saja, yang satu ini lebih parah dari yang ku rasakan sebelumnya. Rasanya kepalaku hampir pecah.

Aku tahu ini dampak dari musim dingin yang akan segera datang. Tubuhku memang sangat rentan terhadap hawa dingin sedangkan sekarang ini, hampir tiap hari New York di guyur hujan. Itu sungguh mengesalkan. Itulah alasan mengapa aku tidak menyukai musim dingin. Lagi pula, ku pikir ini bukan saat yang tepat untuk sakit. Tidak ketika Justin sedang merencanakan sesuatu yang besar yang dapat meletakkan dirinya ke dalam bahaya.

Aku merebahkan tubuhku di atas sofa tanpa melepaskan sepatu dan mantelku. Mendengus dengan keras dan memijat kepalaku yang terasa berdenyut-denyut. Tidak berapa lama, Lottie datang dengan secangkir teh hangat di tangannya beserta dua buah Advil.

"Apa kau yakin baik-baik saja? Aku bisa membawamu ke dokter." Sekali lagi dia menawarkan jasanya kepadaku. Terakhir dia menawariku untuk mengantarku ke dokter adalah pagi tadi.

Aku menoleh padanya. Kepalaku berdenyut. "Jangan berlebihan Lottie. Aku hanya pusing. Ini bukan yang pertama kan?" Aku hanya tidak ingin dia merasa khawatir. Lagi pula, yang ku katakan memang ada benarnya. Aku selalu mendapatkan penyakit bodoh ini ketika menjelang musim dingin. Seperti sebuah rutinitas yang menyebalkan.

"Ya. Tapi ini masih jauh dari bulan Desember."

"Tetap saja ini dingin. Kau tidak lihat kalau setiap hari hujan?"

Lottie mengangguk pelan. "Minumlah. Ini akan menghangatkanmu."

Dengan perlahan, aku merubah posisiku menjadi duduk. Menahan sakit di kepalaku dan mengambil cangkir yang Lottie letakkan di atas meja. Menyesapnya perlahan dan bernafas dengan lega setelah merasakan kehangatan yang tersalurkan ke tenggorokanku hingga tubuhku. Rasanya jauh lebih baik. Ku raih dua Advil yang diberikan Lottie padaku, lalu menegak keduanya sekaligus. Ini akan membuat pusingku berkurang.

"Kau sudah makan siang?" Lottie bertanya.

"Seharusnya aku ada meeting lunch hari ini. Tapi penyakit sialan ini menghalangiku."

"Kau tidak bisa terus menyalahkan penyakitmu Annie." Lottie beranjak dari duduknya. "Aku akan membuat sesuatu untuk dimakan. Sup?"

Aku mengangguk patuh. "Itu akan terasa lebih baik." Dia mengangguk kemudian berjalan ke dapur. Oh Tuhan. Apa jadinya hidupku tanpa Lottie?

Aku berdiri. Dengan langkah tertatih, aku berjalan masuk ke dalam kamar. Mengganti seluruh pakaianku dengan sweeter rajut hangat dan celana training panjang. Lalu aku mengenakan sepasang kaos kaki untuk membuat kakiku hangat. Ya, ini sungguh terasa benar sejauh ini. Duduk di atas ranjang, aku mengambil tasku dan mengeluarkan handphone-ku dari dalamnya. Ada sebuah pesan dari Justin.

Do Not Compare (by Aulia Delova)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang