Sakit. Tubuhku terasa sangat sakit. Hantaman tak terduga itu membuat tubuhku bergetar hebat dan serasa remuk. Dapat ku rasakan semua penyiksaan itu. Ku dengar dengan jelas nafas tak beraturanku. Ku rasakan prih dan ngilu di setiap poros tubuhku. Lalu dia ....... wajahnya sudah penuh dengan darah. Dia menutup mata, namun masih bernafas meskipun dengan berat. Ku coba untuk membangunkannya. Tapi dia tidak bergerak. Api mulai merayap mendekati kami. Sangat cepat. Mataku membulat dan aku berteriak ....
Mendadak aku berpindah tempat dan mendapatkan sudut pandang yang berbeda. Rasa sakit itu masih dapat ku rasakan. Tapi kali ini aku tidak berada di dalam mobil itu. Aku berdiri di tepi jalan dan memandangnya dari kejauhan. Mobil tersebut dalam keadaan buruk. Bagian belakangnya mengeluarkan asap hitam dan perlahan api menyala di sana.
Aku melihat wajahnya masih terpejam. Ku coba berteriak untuk membangunkannya. Tapi tidak ada suara yang keluar. Aku mencoba berlari. Tapi kemudian ada rantai yang menjerat kakiku dan menahanku di tempat. Aku melihat matanya mulai terbuka dan dia membisikkan sesuatu. Suara bisikannya sangat keras bahkan menggema di sekelilingku.
"Tolong aku."
Mataku terbuka lebar disertai nafas tersengal. Tubuhku bergetar hebat. Otot-otot tubuhku mengeras.
Mimpi itu kembali datang. Meskipun ada beberapa bagian yang berbeda, namun secara keseluruhan, mimpi tersebut sama dengan mimpi yang selalu ku dapatkan. Mobi, api, sakit, dan ..... dia. Kepalaku terasa pening. Ku tangkup wajah dengan kedua tanganku. Mencoba kembali mendapatkan kesadaran diriku dan melupakan mimpi tersebut.
Pasti aku telah tertidur di sofa. Aku terlalu lelah dengan semua hal tak terduga yang ku alami. Aku sangat ingin tidur hingga aku tidak berfikir mengenai pil tidur. Dan lihatlah sekarang akibatnya.
"Kau baik-baik saja?" Aku terkejut dengan suara tersebut. Kepalaku langsung menoleh ke samping dan mendapati Justin duduk di seberang. Memandangiku dengan kesungguhan. "Kau berkeringat." Lanjutnya. Ya. Aku juga merasakannya.
"Tak apa." Jawabku. Kemudian aku mencoba untuk duduk. "Hanya mimpi buruk." Memang mungkin terdengar aneh ketika seseorang mendapatkan mimpi di tidur siang mereka. Itu sangat jarang terjadi. Tapi kenyataannya, kelangkaan tersebut memang terjadi padaku. Aku akan selalu bermimpi jika mataku terpejam. Itulah sebabnya aku membutuhkan pil tidur. Mereka membuatku tidak bermimpi. "Jam berapa sekarang?" Aku bertanya untuk merubah topik pembicaraan.
"Lima dua puluh." Dia menjawab. Oh. Aku tidak menyangka akan tidur selama itu. Tiga setengah jam di siang hari. Jujur saja, aku jarang tidur siang sebelumnya. Tidak ada waktu bagiku untuk melakukannya. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kali aku memejamkan mata ketika matahari tepat berada di atas kepala hingga nyaris tenggelam.
Aku memegang kepalaku dan mencoba mengembalikan tingkat kesadaranku. Aku benci ketika mendapatkan mimpi-mimpi tersebut karena mereka sungguh mengganggu. Tapi aku tidak bisa mengusirnya. Mungkin Lottie benar, aku membutuhkan terapis.
"Kita akan bergerak malam ini. Kau ingat bukan?" Aku mengangguk lemah. "Ada perubahan rencana..." Justin berhenti. Pada saat itulah Shay, Sam serta Van masuk dari pintu samping kemudian bergabung dengan kami.
Justin memandang mereka sebentar sebelum kembali padaku. "Kau tidak akan melakukannya sendiri, Shay akan ikut bersamamu."
Aku mengerutkan kening. "Kau bilang..."
"Ya. Aku rasa Shay bisa menghilangkan sikap sangarnya untuk beberapa waktu." Justin menyeringai pada Shay dan wanita itu menggerutukan sesuatu tanda tak suka. Aku tersenyum pada mereka.
"Kalau begitu kenapa tidak Shay yang melakukannya?"
"Karena ini tetap menjadi tugasmu. Shay hanya menemanimu."