Aku merasa kayak orang paling goblok sedunia.
Gimana nggak, seluruh usaha dan jerih payahku selama bertahun-tahun serasa dilecehkan mentah-mentah.
Aku mungkin orang yang penyabar, tapi stok rasa sabar punyaku sudah habis.
Nggak, aku nggak kesal sama sekali, kok.
Aku marah.
Biasanya, kalau aku lagi ada dalam keadaan marah banget kayak begini, aku nggak akan banyak ngomong. Aku bakal diam dan berusaha untuk nggak terlalu banyak mengeluarkan suara—ngobrol pun seperlunya, jadi itulah yang aku lakukan sekarang. Aku bisa berubah dari 'Donghae-si-cowok-cerewet-yang-petakilan' jadi 'Donghae-si-cowok-kalem-dan-misterius'.
Persis seperti kata Yuri, paman sama sekali nggak marah begitu kami datang. Malah, dia menyambut kami dengan penuh sukacita dan kayaknya aku bisa melihat matanya yang agak merah—mungkin dia lagi berusaha keras supaya nggak nangis kali ya. Paman memeluk kami berdua dan harus aku akui, aku merasa terharu diperlakukan seperti itu.
Paman bahkan lebih peduli pada kami berdua dibanding ayah kami yang asli—yang begitu kami datang hanya menatap kami dengan kaku tanpa mengatakan apapun. Sumpah, aku kepengen banget menghajar mukanya yang sama sekali kelihatan nggak berdosa itu. Ada ribuan pertanyaan yang ingin aku muntahkan tepat di depannya, ada begitu banyak yang ingin aku sampaikan—tapi si brengsek itu malah menghindar dari kami berdua dan aku benar-benar benci hal itu.
Padahal kami sudah nggak ketemu selama belasan tahun.
Sekarang, aku lagi berada di 'kamarku' di lantai dua yang sudah bertahun-tahun nggak aku tempati—tapi anehnya, kamarku ini masih tetap bersih dan hampir nggak ada debu sama sekali, aku curiga paman selalu membersihkannya setiap hari. Posisi perabotannya, semuanya, persis sama seperti terakhir aku meninggalkan kamarku ini. Hell, bahkan seprai kasurnya pun masih gambar Batman.
Rasanya kayak kembali ke jaman dulu saja.
Omong-omong, aku dan Yuri sudah menceritakan semuanya kepada paman—kenapa kami tiba-tiba pulang kembali ke Mokpo dan apa yang tengah kami lakukan saat ini. Kami juga menceritakan pengalaman kami selama beberapa tahun belakangan ini—well, sebenarnya Yuri yang lebih banyak ngomong, sih. Aku hanya menanggapi dengan anggukan, gelengan, dan kadang tertawa garing untuk sekedar menanggapi Yuri. Sudah kubilang, kalau aku lagi marah, aku nggak akan banyak ngomong.
Aku yakin seratus persen bahwa ayah—si brengsek itu, mendengarkan semua percakapanku dengan Yuri dan Paman secara diam-diam. Kalau tebakanku benar, selama kami mengobrol dia bersembunyi dibalik pintu dapur yang notabene berada di dekat ruang tengah yang merupakan tempatku berkumpul bersama paman dan Yuri.
Dasar pengecut, bahkan untuk sekedar ikut berkumpul bersama kita saja dia nggak berani.
Anyway, setelah tahu alasan kedatangan kami ke Mokpo, paman malah menyuruh kami untuk tetap tinggal disini. Yuri sudah mengatakan kepada paman bahwa kami berdua bakal membicarakan tentang hal itu nanti—berhubung ayah sudah 'ketemu' dan kami sama sekali belum ada bayangan bakal melakukan apa setelah ini.
Aku pribadi, sih, ingin tetap melanjutkan menjadi detektif swasta dan membantu banyak orang. Nggak tahu kenapa, aku sudah terbiasa saja dengan kegiatan ini, dan aku ini tipe orang yang agak males kalau disuruh mencoba kegiatan baru.
Yuri barangkali ingin mencoba daftar beasiswa ke Stanford lagi atau semacamnya, feeling-ku bilang sih begitu. Dia masih muda, cerdas, berbakat, dan sebagai seseorang yang sudah berkorban begitu banyak Yuri pantas mendapatkan yang lebih baik. Yup, aku sendiri yang bakal menyuruhnya daftar beasiswa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning
FanfictionDisini, semuanya dimulai. Donghae dan Yuri akhirnya harus berhadapan dengan musuh terbesar mereka. Kali ini, mereka harus mengerahkan semua kemampuan mereka untuk mengungkap misteri kematian ibu mereka sendiri, ditambah lagi dengan kehadiran sosok d...