Donghae

175 21 0
                                    

Kalau boleh, aku lebih memilih untuk tidur lagi daripada harus pergi ke SMA hari ini.

Bukan apa-apa, bekas luka tembak di bahu kananku terasa nyeri setengah mati saat aku mandi barusan, disusul oleh pusing yang luar biasa di kepalaku, dan menurutku satu-satunya obat yang paling mujarab adalah tidur—karena aku nggak suka minum obat dan karena aku nggak bisa minum obat kapsul, hehehe.

Tapi, berhubung Yuri kelihatan semangat banget buat menangkap si pencuri lukisan sepuluh juta won itu, aku mau nggak mau mengikutinya juga, sekalipun rasanya aku bisa pingsan saking sakitnya.

Nggak. Aku nggak boleh pingsan. Masa sih seorang Lee Donghae pingsan?

Jadi disinilah aku sekarang, di ruang seni SMA almamaterku, duduk sambil menunggu para saksi mata yang lagi di panggil Wendy datang. Nggak kehitung sudah berapa kali aku menguap dari tadi, rasanya masih ngantuk banget. Sebelum berangkat kesini aku sudah mencicipi kopi hitam punya paman sih—serius, rasanya pait banget—tapi sekarang aku malah ngantuk lagi.

Kayaknya kopi hitam nggak mempan buatku.

Omong-omong soal paman, tadi dia bilang padaku dan Yuri bahwa dia akan pergi keluar dengan ayah, pulangnya mungkin agak malam, jadi dia menitipkan kunci rumah kepadaku. Dia nggak bilang kemana mereka bakal pergi dan aku penasaran banget—aku punya perasaan ini menyangkut tentang si Kim Taehyung itu.

Dan kita semua tahu kan, perasaanku selalu tepat.

Kayaknya, sepulang dari sini aku harus mencari tahu kemana paman dan ayahku pergi.

"Sakit ya?" tanya Yuri tiba-tiba, yang langsung membuyarkan lamunanku.

Aku menatap adikku yang lagi duduk di sampingku kemudian memasang senyum-lebar-nan-menawan-ala-Lee Donghae.

"Nggak kok."

"Gausah bohong deh, waktu dijalan barusan aku liat kamu agak meringis gitu kok." katanya ketus, membuatku langsung tersenyum garing.

Sial, dia perhatian banget rupanya.

"Udah diminum obatnya?"

Aku menggeleng, membuat Yuri langsung membelalakkan matanya.

"Kan dibilang juga apa, kalo kerasa sakit, minum obatnya lagi. Gimana mau sembuh kalau kamu gitu terus!"

"Yuri sayang, dokter itu cuman ngasih painkiller, dan buat aku painkiller terbaik itu ya tidur. Lagian kebanyakan minum obat juga nggak baik." sanggahku, berusaha untuk menghindari tatapannya yang seseram nenek sihir.

Yuri mengerlingkan matanya kemudian membalas, "Terserah deh."

Untungnya, nggak lama kemudian Wendy datang membawa lima orang yang belum aku kenal. Dua mengenakan seragam—satu cewek, satu cowok—dan kalau tebakanku tepat tiga orang lainnya merupakan guru disini.

Oh, astaga, itu kan....

"YA AMPUN! LEE DONGHAE?!" seru seorang wanita dengan setelan kemeja putih, rok hitam dibawah lutut, make up tebal dan rambut panjang yang sudah agak memutih.

Aku tersenyum garing kemudian menghampiri wanita itu untuk bersalaman dengannya. Yup, wanita itu mantan wali kelasku waktu kelas tiga dulu.

Bukannya bersalaman, wanita itu—oke, namanya Mrs. Jung, dia kebetulan mengajar bahasa Inggris disini—malah memelukku.

Asli, ini awkward banget.

"Ibu nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi!" serunya, benar-benar kelihatan excited sementara aku berdiri di hadapannya dengan senyuman-garing-tapi-tetep-ganteng andalanku. Aku yakin seratus persen bahwa semua orang yang ada di ruangan ini tengah menonton adegan dramaku dan Mrs. Jung dengan tampang canggung.

"Ibu dapat kabar dari Sandara kalau kamu jadi perantau sekarang, benar begitu?" tanya Mrs. Jung, dan aku tersenyum kecil saat mendengar nama Dara disebut.

"Kurang lebih begitulah ma'am." jawabku, membuat Mrs. Jung mulai menepuk-nepuk pipiku gemas.

Ugh, aku tahu aku ganteng, tapi nggak sampai nepuk-nepuk pipi juga.

Setelah mengobrol singkat dengan Mrs. Jung tentang kegiatanku dan bla bla bla, akhirnya aku dan Yuri mulai 'mewawancarai' semua saksi mata yang berkumpul di ruang kesenian saat ini. Mrs. Jung memang sempat heran kenapa aku bisa ada disini, tapi setelah aku jelaskan maksud kedatanganku ditambah saat aku ceritakan pekerjaanku sekarang ini, akhirnya dia mengerti.

Nah, dari hasil wawancara-ku dan Yuri, aku bisa menarik kesimpulan sebagai berikut;

Ada tiga orang yang berada di ruang kesenian saat lukisan mahal itu menghilang, dua diantaranya si cewek dan cowok berseragam tadi—si cewek namanya Tzuyu, si cowok namanya Mingyu—bersama satu orang guru kesenian, seorang wanita yang mungkin umurnya hanya beda lima tahun dariku. Tzuyu dan Mingyu bilang waktu itu mereka lagi latihan membuat patung dari tanah liat untuk lomba yang katanya bakal diadakan dua minggu lagi. Saat pekerjaan mereka sudah selesai, si guru kesenian—oke, nama gurunya Gong Hyojin—menyuruh mereka untuk menyimpan hasil karya mereka di ruang penyimpanan. Sementara Tzuyu dan Mingyu pergi, Hyojin lagi sibuk menjawab telepon dari temannya. Saat itu lukisan mahal itu masih tersimpan rapi di tempatnya.

Setelah selesai menelepon, Hyojin menyusul Tzuyu dan Mingyu ke ruang penyimpanan. Nggak sampai lima menit mereka kembali ke ruang kesenian lalu kaget setengah mati ketika mendapati lukisan itu telah raib, padahal kotak kacanya masih terkunci dengan rapat dan nggak ada tanda-tanda pintu dibuka dengan paksa sama sekali.

Seakan-akan lukisan itu hilang dicuri hantu.

Hyojin kemudian menyuruh Mingyu untuk memanggil bagian kesiswaan dan penjaga sekolah—yaitu Mrs. Jung dan seorang cowok berusia 30 tahunan bernama Byunghun. Mereka yang panik langsung mencari ke seluruh penjuru sekolah tapi tetap nggak menemukan hasil.

Mereka berasumsi bahwa lukisan mahal itu telah dicuri, kemudian sang ketua OSIS, Wendy, memutuskan untuk meminta bantuan Yuri dan aku untuk mencari tahu siapa pencurinya.

Dari situ, aku sudah punya bayangan trik yang dilakukan si pelaku dalam melakukan aksinya—dan percaya deh, si pelaku pasti pakai trik yang sama yang ada di komik Detektif Conan. Awalnya aku memang nggak menemukan sama sekali petunjuk, tapi setelah aku teliti lagi, ternyata, ada banyak banget kejanggalan di ruangan ini.

Dan kayaknya aku sudah tahu siapa pelakunya.

Aku sudah mendiskusikan hal ini bersama Yuri selama kurang lebih setengah jam, dan setelah berdebat singkat dengannya, kami akhirnya sepakat untuk langsung membongkar semua trik yang dipakai si pelaku sekarang juga—dan itu artinya, sekalian mengungkap siapa pencurinya.

Ini barangkali jadi kasus tercepat yang pernah aku selesaikan. Hohoho.

"Oke, karena kita semua sudah berkumpul disini, lebih baik kita mulai saja," kataku, membuat kelima orang saksi yang ada di hadapanku—termasuk Wendy yang dari tadi ikut nimbrung—mengangguk tanda setuju.

Aku menarik napasku panjang kemudian bersiap untuk memulai berbicara.

It's showtime, baby.

The Beginning Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang