Yuri

196 21 2
                                    

Kalau lagi dalam situasi normal, aku pasti bakal langsung menendang Donghae begitu dia melayangkan tinjunya ke wajah ayah.

Tapi, berhubung aku sudah berhasil dibuat kesal setengah mati sama ayah—bukan kesal sih, marah—aku malah nyaris ingin bersorak begitu Donghae datang dan menonjok ayah dengan sekali gerakan ringan.

Hal selanjutnya yang dilakukan Donghae juga tidak kalah keren.

"Jaga bicaramu!" bentaknya, membuat setiap orang yang ada di dapur saat ini terdiam—terlebih lagi ayah, yang kelihatan kaget banget dipukul anak sendiri.

Setelah berkata seperti itu, Donghae menghentakkan langkahnya keluar dari dapur dengan cepat, lalu tahu-tahu dia sudah berlari lewat pintu depan. Aku buru-buru mengejarnya—karena aku tidak tahan berlama-lama di dapur dengan ayah dan karena aku takut Donghae nyasar. Awalnya, aku kira Donghae bakal berlari masuk kedalam pohon-pohon besar yang mirip hutan di depan rumah paman, tapi begitu dia berbelok aku langsung tahu dia mau pergi kemana.

Tidak perlu memakan waktu lama, aku sudah mendapati Donghae tengah duduk bersila di depan sebuah batu nisan besar.

Ya, itu makam ibu kami.

Jadi gini, begitu meninggal, ibu dimakamkan di pemakaman keluarga yang notabene dekat dengan rumah paman. Jadi, sewaktu aku masih kecil, aku dan Donghae suka merenung di depan makam ibu tanpa melakukan apapun sampai akhirnya paman menjemput kami berdua. Dulu kami berdua memang tidak pernah pergi ke makam ibu malem-malem begini sih.

Aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak, melewati beberapa makam lain sebelum akhirnya mencapai makam ibuku. Donghae tengah menatap lurus ke depan, wajahnya terlihat abstrak, napasnya agak memburu, dan aku bisa melihat dengan jelas keringat sebesar biji jagung di pelipisnya. Aku akhirnya mendaratkan pantatku tepat di sampingnya.

"Hey." Kataku pelan, lalu Donghae hanya membalasnya dengan sebuah anggukan kecil.

"Yang barusan kamu lakukan itu keren, loh." Kataku lagi. "See? Aku sampe muji kamu segala, nih."

Donghae tertawa kecil kemudian menghela napasnya.

"Barusan itu... Aku salah nggak sih?" tanyanya, suaranya terdengar pelan banget. Tidak biasanya Donghae kayak begini.

Aku menggigit bibirku, berpikir sebentar, kemudian menggeleng. "Nggak juga, sih."

Lagi-lagi, Donghae tertawa kecil, tapi kali ini aku bisa menangkap nada kesedihan dibaliknya.

Dia kenapa sih?

"Barusan, waktu aku nonjok ayah, aku sekilas liat matanya. Kantung matanya kelewat gede, dan mungkin aku salah tangkap atau gimana kali ya, tapi ayah kelihatan... sedih gitu."

"Dan sekarang kamu ngerasa bersalah?"

Donghae mengangkat bahunya. "Sedikit."

"Well, mungkin ayah sedih melihat anak-anaknya jadi perantau dan agak bandel begini. Mungkin dia sedih karena dia tidak mendapat sambutan yang cukup baik dari anak-anaknya yang udah belasan tahun nggak ketemu."

"Ha, mungkin." Kata Donghae pelan. "Salah dia juga sih main asal ngomong aja."

Aku membenarkan pernyataan kakakku. Yup, aku bohong banget kalau aku bilang aku tidak sakit hati mendengar perkataan ayah barusan. Mungkin aku memang bukan anak cewek manis dan lembut seperti yang dia harapkan, mungkin aku sangat berbeda jauh dari ekspektasinya. Tapi, salah dia juga aku jadi seperti ini. Ibu sudah meninggal sebelum aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana wajahnya, bagaimana suaranya, yang aku miliki hanyalah bayangan samar-samar dari foto yang terpajang di dinding rumah paman. Aku baru lima tahun waktu itu, oke? Tidak banyak yang bisa diingat oleh anak usia lima tahun.

The Beginning Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang