Yuri

172 20 2
                                    

Oke, ini namanya kejutan.

Aku kira aku dan Dara—plus Jimin—bakal berkumpul setidaknya satu minggu lagi. Ternyata, kurang dari dua belas jam dan kami sudah bertemu kembali di Mokpo.

Donghae terlihat kaget—pastinya, tapi aku yakin dia juga senang bisa ketemu dengan ceweknya secepat ini.

"Kamu ngapain disini?" tanya Donghae, saat kami berlima sedang berkumpul di dekat Civic di area parkir.

Berlima? Yup. Jimin bawa ceweknya—aku tidak menyangka anak pramuka itu sudah punya pacar—yang katanya seorang hacker. Nama cewek itu Shin Hyunjae, dan aku masih meragukan pernyataan Jimin bahwa cewek ini seorang hacker, soalnya tampangnya manis banget. Mirip cewek-cewek high class yang hobinya beli barang-barang mahal gitu deh.

"Sama kayak kamu." jawab Dara. "Aku ditugasin kesini untuk mengawasi jalannya acara pelelangan charity yang diadakan Taehyung itu."

"Terus kenapa Jimin bawa pacar?" tanya Donghae lagi, membuat muka Jimin langsung bersemu merah.

Hyunjae langsung tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Donghae. "Aku kesini karena Dara eonni bilang dia membutuhkanku untuk mencari data."

"Mencari data?" kali ini, aku yang bertanya. Iya dong, aku tidak mungkin diam terus, kan?

Dara mengangguk kemudian menjawab, "Yup, berhubung kita bakal memulai penyelidikan mendalam terhadap Kim Taehyung, kita perlu semua data tentangnya. Aku punya sih, tapi aku rasa data-data yang aku punya kurang lengkap dan perlu di update, makanya aku bawa Hyunjae kesini."

"Dia ini jagonya untuk urusan hacking." timpal Jimin, membuat Hyunjae memukul bahu cowok itu pelan sambil tertawa malu-malu.

"Oke," Donghae menggaruk tengkuknya sebentar kemudian melanjutkan. "Jadi sekarang ini kita satu tim. Kapan kamu mulai mencari data, Hyunjae?"

Hyunjae buru-buru menjawab, "Kalau bisa sih besok, tapi aku pikir saat acara pelelangan itu waktu yang paling cocok, soalnya dengan begitu Taehyung bakal menempatkan perhatiannya sepenuhnya sama acara itu."

"Kalau gitu, kita sepemikiran." kata Donghae.

"Lalu, kamu sendiri? Bukannya kata Yuri kalian lagi ada kasus, ya?" Dara balik bertanya.

"Iya, sekolah kita kehilangan lukisan mahal, jadi aku dan Yuri dimintai tolong untuk menangkap pencurinya." jawab Donghae cepat.

Seperti yang aku harapkan, Dara membelalakkan matanya, tanda dia terkejut.

"SMA?" tanya Dara, dan kali ini Donghae hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kepala kecil.

"Nah, maka dari itu, besok aku dan Donghae bakal sibuk mengurus masalah pencurian itu di sekolah, jadi kayaknya kami belum bisa ikut penyelidikan sampai lusa." timpalku.

"Nggak masalah." balas Dara cepat. "Kalian kerjakan aja dulu tugas kalian, nanti, kalau sudah selesai kalian baru bergabung dengan kami. Oke?"

"Oke." jawabku.

Jadi, setelah mengobrol selama kurang lebih setengah jam sambil berdiri di parkiran, aku dan Donghae meninggalkan mall sementara Dara dan yang lainnya akan melakukan pengecekan terhadap area yang nantinya bakal dijadikan tempat pelelangan. Sebelum kami benar-benar pergi aku melihat Donghae dan Dara lagi mengobrol serius, dan saat ini, aku penasaran apa yang mereka bicarakan.

Maksudku, belakangan ini aku merasa Donghae lagi menyembunyikan sesuatu dariku. Dan kalian tahu sendiri kan, aku tidak suka dibohongi.

"Tadi ngobrol apa sama Dara?" tanyaku, saat intro lagu Home Sweet Home dari Motley Crue baru saja terdengar menggema dari player Civic.

Donghae menghela napasnya, melirikku sekilas, kemudian menjawab, "Sesuatu yang lumayan serius."

"Apaan?" tanyaku lagi. "Sekilas barusan muka kamu kayak galau gitu, aku pengen tau kenapa."

"Itu..." lagi-lagi Donghae menghela napasnya. Ada apa sih?

"Dara mengusulkan kalau kita sebaiknya berkunjung ke rumah paman daripada mencari motel untuk menginap."

Oh, cuman itu toh.

Aku mengangkat bahuku kemudian bersandar pada kursi penumpang. "Yaudah, nggak masalah. Hitung-hitung hemat pengeluaran juga, kan?"

"Tapi kita kan sudah berapa tahun nggak kasih kabar ke paman." kata Donghae cepat. "Gimana kalau kita malah diusir nanti?"

Aduh, dasar drama queen.

"Nggak akan, lah. Besides, aku malah yakin banget paman bakal menyambut kita dengan penuh haru." jawabku santai.

"Serius nih?"

"Iya, bawel." balasku.

Akhirnya, tanpa menanggapi perkataanku, Donghae mengemudikan Civic yang mulai menjauh dari mall. Sisa perjalanan dilalui dengan keheningan antara kami berdua—well, tidak hening banget sih, soalnya player Civic masih terus memutar lagu-lagu Motley Crue yang cadas abis.

Sekarang aku merasakan apa yang sebelumnya dirasakan Donghae; nostalgia. Yup, barusan kami melewati SMA-ku dan rasanya semua kenangan semasa SMA tiba-tiba memenuhi otak dan hatiku. Oke, lebay sih, tapi aku serius. Rasanya aku kangen banget sama masa-masa itu.

Waktu SMA, aku selalu jadi juara kelas. Bukannya sombong ya, tapi emang begitu. Dari kelas satu sampai kelas tiga aku selalu menempati peringkat pertama. Bahkan, saat kelulusan saja aku jadi juara umum dan diberikan kehormatan untuk membacakan pidato perpisahan. Ingat, aku juga dapat beasiswa ke Stanford gara-gara nilaiku yang mulus—tapi seperti kita semua ketahui, aku memutuskan untuk mengabaikan beasiswa itu dan malah mengikuti Donghae mencari ayah kami.

Omong-omong tentang ayah, ini sudah empat tahun—atau kurang lebih segitu—sejak kami pertama kali memutukan mencarinya, dan sampai detik ini kami hanya mendapatkan sedikit informasi mengenainya, itu juga karena Hyukjae dan Dara yang memberi tahu kami. Kalau kami tidak bertemu mereka waktu itu, kayaknya sampai sekarang kami masih tidak memiliki petunjuk apapun tentang keberadaan ayah kami.

Taehyung mengincar kami, dan dia juga mengincar ayah kami. Dengan keberadaan Taehyung yang mendadak ada di Mokpo begini, aku curiga dia telah mengatur semuanya.

Maksudku, siapa tahu dia sengaja untuk menggiring kami ke kampung halaman kami supaya dia bisa melakukan sesuatu terhadap kami, kan?

Karena aku kebanyakan melamun, tahu-tahu Civic sudah berbelok memasuki sebuah jalan yang hanya muat untuk satu mobil. Beberapa pepohonan tinggi menjulang di kiri dan kanan kami, lalu akhirnya kami tiba di halaman sebuah rumah dengan dua tingkat yang selama ini menjadi 'rumah' kami.

Rumah paman.

Aku mengerutkan keningku saat aku melihat sebuah mobil sedan yang agak panjang berwarna hitam terparkir dengan cantik di sudut halaman rumah paman. Setahuku, mobil paman adalah sebuah Jeep tua berwarna jingga yang kulitnya sudah mulai berkarat, bukan sedan antik kayak begitu.

Mobil siapa itu?

"Masa paman beli mobil baru?" tanyaku, sementara Donghae hanya menjawabnya dengan mengangkat bahunya. Dia lagi sibuk memarkirkan Civic.

Pertanyaanku seakan-akan langsung terjawab, karena beberapa detik kemudian, pintu depan rumah paman terbuka lebar lalu sesosok pria dengan rambut yang sudah agak memutih keluar dari dalam. Perawakannya cukup tinggi, dengan jaket kulit berwarna coklat yang sudah agak lusuh lengkap dengan celana jeans dan sepatu bots. Paman tidak mungkin berpakaian seperti itu.

Itu bukan paman.

Itu ayahku.

The Beginning Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang